Percepat Mobil Listrik, Investasi Smelter Nikel di 2024 Capai USD30 Miliar
Jakarta: Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah mempercepat larangan ekspor bijih nikel agar bisa diolah di smelter dalam negeri menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Salah satunya yakni untuk menjadi baterai lithium dalam rangka percepatan pengembangan mobil listrik.
Luhut mengatakan saat ini investasi pembangunan smelter nikel sudah mencapai USD10 miliar. Dia bilang angka tersebut akan bertambah dalam kurun waktu lima tahun ke depan mencapai USD19 miliar hingga USD20 miliar.
"Di pipeline sampai 2024 akan mendekati USD30 miliar. Malah saya pikir angka itu akan lebih besar dari itu," kata Luhut ditemui di Gedung BPPT, Jakarta Pusat, Senin, 2 September 2019.
Dirinya mengatakan Indonesia akan menjadi pemain global dalam industri lithium baterai sejalan dengan perkembangan kendaraan listrik. Sebab Indonesia memiliki potensi nikel yang sangat besar. Nikel merupakan salah satu komponen terbesar dalam pembuatan baterai.
Hal senada juga disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono. Ia bilang percepatan larangan ekspor bijih nikel agar bisa diolah di smelter dalam negeri untuk menjadi baterai dalam rangka mendukung percepatan pengembangan mobil listrik.
"Intinya nikel tersebut nantinya dapat menghasilkan komponen yang berguna untuk membangun baterai dalam rangka untuk percepatan pengembangan mobil listrik," kata Bambang.
Bambang mengatakan setidaknya ada empat smelter yang menggunakan teknologi hydrometalurgi guna mendorong percepatan industri mobil listrik di dalam negeri. Pertama, smelter milik PT Huayue Nickle Cobalt yang terletak di IMIP Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Smelter dengan nilai investasi USD1,28 miliar ini memiliki kapasitas pengolahan sebesar 11 juta ton bijih nikel per tahun. Adapun kapasitas yang dihasilkan berupa nikel sebesar 60 ribu ton dan cobalt sebesar 7.800 ton.
Kedua smelter milik PT QMB New Energy Material yang terletak di IMIP Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Investasi yang dibutuhkan untuk membangun smelter ini mencaoai USD998,47 juta.
Smelter ini mampu mengolah lima juta ton bijih nikel per tahun. Dengan kapasitas yang dihasilkan berupa 50 ribu ton nikel per tahun dan 4.000 ton cobalt.
Ketiga, smelter milik PT Halmahera Persada Lygend dengan salah satu pemilik sagam dari Harita Group (PT Trimegah Bangun Persada). Smelter ini membutuhkan investasi sebesar USD 10,61 miliar.
Smelter ini memiliki kapasitas pengolahan mencapau 8,3 juta wet ton bijih nikel per tahun. Serta memililiki kapasitas yang dihasilkan berupa mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel sulfat dan cobalt sulfat sebesar 278.534 ton.
Keempat, smelter milik PT Smelter Nikel Indonesia yang memiliki kapasitas pengolahan sebesar 2,4 juta ton bijih nikel per tahun serta kapasitas yang dihasilkan berupa MHP, nikel sulfat dan cobalt sulfat sebesar 76.500 ton.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.