Pro kontra perubahan tarif royalti tambang, pengusaha nikel protes
KONTAN.CO.ID -KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah telah mengubah jenis dan tarif iuran produksi atau royalti tambang, khususnya untuk komoditas mineral. Peraturan tersebut akan berlaku efektif pada 1 Januari 2020.
Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beleid ini menggantikan PP Nomor 9 Tahun 2012.
Baca Juga: Pemerintah ubah Jenis dan tarif royalti tambang, ESDM: untuk dorong hilirisasi
Perubahan jenis dan tarif royalti ini, khususnya di komoditas mineral, menimbulkan pro dan kontra. Suara kontra, salah satunya datang dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, perubahan tarif ini dirasa semakin memberatkan penambang nikel di tengah tata niaga dan harga domestik yang dinilai tak ramah terhadap penambang.
"Karena harga dan tata niaga nikel domestik sampai saat ini belum clear, harusnya bereskan dulu itu, baru ditambah lagi kewajiban," kata Meidy saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (11/12).
Asal tahu saja, dalam beleid yang baru, tarif royalti untuk sejumlah komoditas mineral diatur lebih rinci berdasarkan produk dan proses penambangan. Untuk bijih mentah (ore) dikenakan tarif lebih mahal, sedangkan produk tambang yang sudah diolah atau dimurnikan diberikan tarif yang lebih murah.
Sebagai contoh, di PP ini, tarif royalti untuk bijih nikel dikenakan sebesar 10% dari harga jual per ton. Naik dua kali lipat dari tarif sebelumnya yang hanya sebesar 5%.
Untuk produk lanjutan, tarif royalti dipatok lebih mini. Produk pengolahan berupa nickel matte, misalnya, dipatok sebesar 2% dari harga jual per ton, turun dari tarif sebelumnya yang senilai 4%. Hal yang sama juga berlaku untuk Ferro Nickel (FeNi) yang royaltinya turun dari sebelumnya 4% menjadi 2%.
Baca Juga: Jelang siang, harga emas turun 0,05% di level US$ 1.463,69 per ons troi
"Royalti bijih nikel naik dua kali lipat, 5% jadi 10%. Artinya kan penambang nasional makin terpuruk dengan segala kewajiban dan beban yang makin tinggi. Sedangkan para smelter itu akan industri hilirnya malah diringankan beban nya, kan nggak fair gitu," ungkap Meidy.
Menurut perhitungan Meidy, dengan kadar nikel 1,7% saja, kenaikan royalti 5% dari harga jual per ton pada bijih nikel berakibat penambahan beban biaya sekitar US$ 3 per ton bagi penambang. Ia menyampaikan, royalti ini berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM). Sedangkan harga jual bijih nikel di lapangan, kata Meidy, bisa berbanding dua atau tiga kali lebih rendah.
Dengan kondisi ini, Meidy mendesak pemerintah untuk segera mengatur tata niaga dan harga nikel domestik supaya tidak semakin menekan penambang. Apalagi, hilirisasi tambang didominasi oleh komoditas nikel.
"Industri hilir itu mayoritasnya, 70% dipegang nikel lho. Artinya kalau kewajiban sudah bertambah, para pelaku hilirisasi sudah harus melihat keadaan, nggak mungkin dengan kontrak harga seperti ini terus," sebut Meidy.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Centre for Indonesia Resources Strategic Studies (CIRUSS) Budi Santoso. Menurutnya, perubahan jenis dan tarif royalti ini tidak bisa sertamerta menggenjot hilirisasi, bahkan dikhawatirkan membuat produk turunan mineral menjadi tidak kompentitif.
Baca Juga: Harga emas naik 0,03% di level US$ 1.463,89 per ons troi
Budi mengatakan, kebijakan ini tidak akan membebani smelter yang terintegrasi dengan tambang. Sayangnya, lanjut Budi, tidak semua tambang memiliki keekonomian untuk membangun smelter. Sementara bagi smelter yang tidak memiliki tambang akan mendapatkan beban tambahan, lantaran penambang nikel di hulu sudah terbebani biaya yang makin tinggi.
"Ketika di hulunya biayanya sudah tinggi, maka produk akhirnya akan tidak kompetitif. Padahal smelter yang nggak punya IUP (Izin Usaha Pertambangan) lebih banyak. Beban akan meningkat sebesar royalti yang dibebankan pada ore," terang Budi.
Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif mengatakan, kenaikan royalti ini bisa dilihat sebagai insentif untuk mendorong hilirisasi, lantaran ada penurunan tarif royalti pada produk pengolahan atau pemurnian. Apalagi, di PP ini sudah ada penataan dan pengakategorisasian tarif maupun jenis produk.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.