Produksi Bijih Nikel Turun, Bahan Baku Smelter Dipastikan Aman
Bisnis.com, JAKARTA – Meskipun produksi bijih nikel di tahun ini diprediksi merosot tajam sekitar 50 persen dari tahun lalu, tetapi Perhapi meyakini kondisi itu tak akan berdampak pada kegiatan smelter yang telah beroperasi.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli berpendapat melonjaknya produksi bijih nikel pada 2019 yang mencapai 52,76 juta ton itu karena sebagian besar hasil penambangan nikel diekspor sebagai bahan mentah. Sisanya, dipasok dan disuplai untuk kebutuhan pabrik pengolahan smelter nikel di dalam negeri. Baca juga: Sejumlah Penambang Nikel Setop Produksi
"Setelah Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 11 tahun 2019 yang melarang ekspor bijih nikel pada 31 Desember 2019, maka seluruh produksi penambangan nikel di Indonesia tahun 2020 sepenuhnya hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku smelter nikel Tanah Air," ujarnya kepada Bisnis, Senin (10/2/2020).
Dia meyakini meski produksi bijih nikel tahun ini hanya 25 juta ton tak akan mempengaruhi operasional smelter atau dengan kata lain bahan bakunya mencukupi.
Beberapa smelter yang dimiliki oleh PT Vale Indonesia Tbk. dan PT Aneka Tambang Tbk. juga memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang pasokan bahan bakunya akan diperoleh dari kegiatan penambangan di wilayah penambangannya sendiri.
Untuk smelter yang tidak memiliki wilayah pertambangan, perusahaan tersebut umumnya telah melakukan kerjasama dengan perusahaan pemegang IUP untuk penyediaan pasokan bijih nikel bagi smelter mereka.
"Umumnya kebutuhan untuk smelter nikel sebagian besar dapat dipenuhi dari produksi bijih nikel dari konsesinya sendiri. Apabila masih kurang, umumnya akan membeli dari rekanan yang ada dan sudah berproduksi," ucapnya.
Menurut Rizal, saat ini yang paling penting bukanlah seberapa banyak produksi bijih nikel yang akan ditambang oleh perusahaan pemegang IUP, tetapi yang paling penting adalah bagaimana pemerintah dapat hadir dalam tata niaga bijih nikel di tanah air.
Menurutnya, hal itu perlu dilakukan agar penambang dan perusahaan smelter dapat memperoleh keuntungan yang sepadan atas kegiatan hilirisasi mineral di dalam negeri.
Adapun saat ini memang pemerintah tengah membenahi tata niaga nikel untuk kebutuhan dalam negeri.
"Pemerintah pun harus mengawasi tata niaga tersebut. APNI selama ini merasa harganya sangat rendah dan merasa dirugikan dengan adanya pelarangan ekspor itu. APNI harus menyuplai kebutuhan domestik sehingga yang memiliki daya tawar tinggi dalam hal ini smelter yang akan menentukan harganya,"jelasnya.
Selain itu pengaturan tata niaga, pengendalian produksi tambang juga perlu menjadi agenda dan perhatian penting Pemerintah. Hal ini diperlukan untuk memastikan cadangan nikel Tanah Air.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.