Fluktuasi harga komoditas tambang berpengaruh ke pola produksi komoditas tambang nasional. Dari enam komoditas hasil mineral dan logam, tiga diantaranya mencatat penurunan produksi.
Merujuk data dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pada periode Januari hingga April 2016, terdapat tiga komoditas tambang yang mencatat penurunan produksi.
Pertama, produksi logam granit pada periode Januari-April 2016 merosot sampai 98% menjadi 7.963 ton. Adapun pada periode yang sama tahun lalu, produksi granit mencapai 428.126 ton.
Tak hanya granit, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara ( Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyanto mengatakan, penurunan produksi juga terjadi pada komoditas emas.
Bambang bilang, pada periode Januari-April 2016, produksi emas juga turun 11,7%. "Tahun ini, produksi emas hanya 23.678,39 kilogram (kg), padahal tahun lalu produksinya mencapai 26.826,75 kg," kata Bambang di Kementerian ESDM, Kamis (21/7).
Komoditas ketiga yang mencatat penurunan produksi adalah perak, yang susut 8,2%. Pada periode Januari-April 2016, produksi perak di dalam negeri hanya mencapai 93.938,37 kg. Adapun pada periode yang sama tahun lalu jumlah produksi perak mencapai 102.352,66 kg.
Pemerintah menyebut tren penurunan produksi mineral yang terjadi sejak tahun lalu karena rendahnya harga komoditas di pasaran. Jika harga komoditas tambang tersebut merangkak naik seperti yang terjadi pada emas saat ini, maka perusahaan tambang akan berlomba menggenjot produksi mereka.
Ada yang naik
Meski ada produksi tambang yang turun, di sisi lain ada pula komoditas tambang lain yang mengalami kenaikan produksi. Seperti produksi copper concentrate yang naik 10% menjadi 784.689 dry metric tonne unit (dmt). Adapun pada periode yang sama tahun lalu, produksinya baru mencapai 709.494 dmt.
Kenaikan produksi juga terjadi pada logam tembaga sebesar 5,6% pada periode Januari-April 2016 menjadi 183.629,11 ton. Adapun pada periode yang sama 2015, produksi tembaga tercatat sebesar 173.746,19 ton.
"Terakhir komoditas nikel plus kobalt produksinya mengalami kenaikan 0,7% dari sebelumnya 23.234,64 ton menjadi 23.415,58 ton," tambah Bambang.
Ladjiman Damanik, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) menuturkan, produksi mineral dan logam tambang sangat ditentukan oleh harga.
Jika harga komoditas sedang tinggi, maka perusahaan akan memproduksi lebih banyak untuk mengeduk untung. Sebaliknya, jika harga turun, pengusaha akan mengurangi produksi.
Maka itulah, Ladjiman menilai ada produksi tambang yang turun awal tahun 2016. Kondisi itu terjadi karena harga tambang yang melemah. Kondisi tersebut diproyeksikan masih berlanjut tahun ini.
"Kami perkirakan masih berlanjut tahun ini. Makanya produksi mineral kami ikut turun karena harga sedang tidak menarik," terangnya kepada KONTAN, Kamis (22/7).
Selain masalah harga, pengusaha tambang menilai, kebijakan larangan ekspor mineral logam mentah juga mengganjal pengusaha menjajakan hasil tambang ke pasar ekspor. Pasalnya, saat ini belum banyak perusahaan pertambangan yang juga memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
"Belum banyak smelter yang membutuhkan bahan baku mentah," tandasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.