Produksi nikel tahun ini terancam tergerus akibat wabah virus corona
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi nikel di tahun 2020 terancam tergerus akibat penyebaran wabah virus corona. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menjelaskan, sejumlah tambang masih berjalan normal kendati dibayangi kebijakan pembatasan tenaga kerja.
"Beberapa tambang berhenti produksi karena keputusan manajemen perusahaan dan pembatasan wilayah sehingga pekerja tidak bisa masuk wilayah lokasi," tutur Sekretaris APNI Meidy Katrin Lengkey kepada Kontan.co.id, Kamis (2/4).
Meidy menerangkan, selain pembatasan tenaga kerja dan wilayah operasi, bayang-bayang penurunan produksi juga diakibatkan penghentian operasi line sejumlah line smelter. Penghentian operasi sejumlah line oleh perusahaan memicu penurunan permintaan bijih nikel. Kendati demikian, Meidy memastikan kegiatan distribusi berjalan lancar sebab pengapalan tongkang belum begitu terdampak pandemi corona.
Demi mengatasi sejumlah kendala yang ada, Meidy menjelaskan, APNI berharap pemerintah dapat mengambil sejumlah kebijakan seperti pembatasan tenaga kerja asing dan melakukan pemberdayaan tenaga kerja lokal. "(Selain itu) perlu percepatan penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) dan memberikan dispensasi pembayaran PNPB untuk pengiriman bijih nikel ke smelter lokal," ujar Meidy.
Disisi lain, APNI berharap pemerintah membuka peluang untuk melakukan relaksasi ekspor bijih nikel demi meringankan beban penambang dan mendorong penambahan devisa negara.
Asal tahu saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pada tahun lalu realisasi produksi bijih nikel tercatat sebanyak 60,95 juta ton, meningkat drastis dari realisasi tahun 2018 yang hanya sebesar 22,14 juta ton. Ekspor bijih nikel pada tahun lalu juga tercatat naik menjadi 30,19 ton dibanding tahun 2018 yang sebanyak 20,07 juta ton.
Sementara untuk tahun ini, Kementerian ESDM memprediksi produksi bijih nikel hanya berkisar di angka 30-an juta ton. Sementara realisasi hingga Februari 2020 tercatat mencapai 3,89 juta ton.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak ketika dimintai konfirmasi menolak untuk memberikan komentar atas potensi penurunan produksi ini. "Tidak ada tanggapan" jawab Yunus singkat, Kamis (2/4).
Dalam catatan Kontan.co.id, Kementerian ESDM memang memproyeksikan penurunan produksi bijih nikel pada tahun ini. Kala itu, Yunus mengungkapkan, hal ini dimungkinkan pasca terjadinya lonjakan produksi di 2019.
"Bijih nikel kadar rendah dengan sendirinya akan ngerem (produksi). Sekarang tumpukan jadi gunung. Ketika ekspor distop, otomatis ada over supply. Kadar rendah yang tidak diekspor ditata ulang untuk disimpan," terang Yunus di kantornya, Kamis (23/1).
Disisi lain, Kementerian ESDM sempat menjanjikan akan menerbitkan regulasi terkait harga dan tata niaga nikel domestik pada Maret lalu.
Sayangnya, memasuki bulan April, rencana tersebut belum menemui titik terang. Menurut Yunus, peraturan tersebut ingin memastikan penambang maupun pengusaha smelter bisa mendapatkan harga yang layak, tidak lebih rendah dari perhitungan keekonomian Harga Pokok Produksi (HPP) ore nikel maupun smelter.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.