Pungutan Royalti Tambang akan Diambil di Hulu, Tak Lagi di Hilir
JAKARTA- Pemerintah berencana mengubah konsep pengambilan royalti dari produk pertambangan. Yakni pengutipan royalti yang saat ini dari hilir, akan berubah di sektor hulu. Dalam wacana tersebut, royalti akan dipungut dari perusahaan eksplorasi pertambangan yang menghasilkan mineral mentah, tanpa pengolahan.
Maka itu, produk tambang yang telah diolah melalui pengolahan dan pemurnian (smelter), seperti nikel matte dan feronikel, nanti tak lagi dikenakan royalti.
Rencana perubahan pola pungut royalti ini mencuat dalam rapat koordinasi antar kementerian di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (9/4). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution bilang, salah satu alasan perubahan pola pengutipan royalti adalah atas pertimbangan kondisi pasar.
Sejak lima tahun terakhir, harga komoditas tambang turun. Selain harga, pertimbangan lain adalah agar program hilirisasi pertambangan berjalan. “Maka itu, royalti pertambangan harus diambil di hulu, bukan di pengolahannya,” jelas Darmin, Jumat (8/4/2016).
Perubahan kebijakan tersebut punya konsekuensi berupa revisi aturan yang mengatur soal royalti.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono bilang, aturan yang direvisi adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku.
Bambang memperkirakan, tarif royalti untuk hulu berbeda dengan besaran tarif royalti yang berlaku saat ini. "Tarif royalti hulu dalam revisi aturan PP No 9/2012 lebih tinggi dari tarif royalti hilir," terang Bambang.
Menurut Bambang, royalti yang lebih tinggi untuk hulu dilakukan agar tidak muncul kecemburuan dari perusahaan tambang yang selama ini melakukan pengolahan.
Di antara perusahaan tambang yang telah melakukan pemurnian atau pengolahan adalah PT Antam (Persero) Tbk dan PT Vale Indonesia Tbk.
Dukungan pengusaha :
Namun, ada risiko dalam perubahan kebijakan tersebut. Adanya pemungutan tarif royalti di sektor hulu bisa mengurangi keinginan perusahaan tambang untuk membangun pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Mereka akan menyiasatinya dengan memberlakukan tarif royalti hulu mesti lebih besar dari tarif royalti hilir saat ini.
Karena baru wacana, Bambang belum bisa memastikan kapan rencana perubahan aturan royalti tersebut berlaku. Ia hanya bilang, perubahan pembayaran royalti pertambangan akan diterapkan setelah mereka merevisi PP 9/2012. "Yang pasti tahun inilah," ujarnya.
Bak gayung bersambut, rencana perubahan pola pengutipan royalti mendapat sambutan positif dari Jonathan Handojo, Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I).
"Royalti seharusnya dikenakan ke perusahaan tambang yang mengambil hasil bumi. Sementara kami ini, kan, pelaku industri pengolahan. Seharusnya produk mineral yang kami beli sudah kena royalti," kata Handojo, Minggu (10/4/2016).
Dukungan serupa juga disampaikan oleh Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss). Budi menilai, pengenaan royalti mineral mentah bisa meningkatkan harga keekonomian produk hilir dari smelter.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.