Realisasi Pembangunan Smelter Perlu Terus Dipantau
NERACA
Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, sampai Oktober 2017 terdapat 13 fasilitas pemurnian (smelter) nikel sudah beroperasi dan menghasilkan berbagai macam produk seperti NPI, FeNi dan NiHidroxide. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, investasi untuk pembangunan fasilitas pemurnian nikel di dalam negeri mencapai kurang lebih US$ 5,03 miliar atau sekitar Rp68 triliun.
"Investasi smelter nikel itu senilai Rp68 triliun, mulai dari Vale, Antam, Sulawesi Mining Investment, COR Industri Indonesia, dan lainnya. Ada tiga belas perusahaan yang beroperasi, ini semua beroperasi dan tidak ada yang berhenti," kata Bambang Gatot pada konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (27/12).
Adapun ketiga belas perusahaan yang telah membangun smelter nikel yaitu PT Vale Indonesia, PT Aneka Tambang (Pomala), PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, PT Sulawesi Mining Investment, PT Gebe Industry Nickel, PT Megah Surya Pertiwi, dan PT COR Industri Indonesia. Selanjutnya, ada Heng Tai Yuan, Century Metalindo, Indonesia Guang Ching Nikel and Stainless Steel, Virtu Dragon, PT Surya Saga Utama (Blackspace), dan PT Bintang Timur Steel.
Sampai dengan Oktober 2017, ketiga belas smelter nikel yang sudah terbangun dan beroperasi tersebut menghasilkan 598 ribu ton (FeNi dan NPI) serta 64 ribu ton Ni-Matte, serta mampu memurnikan bijih nikel di dalam negeri sebesar 34 juta ton.
Bambang menambahkan, selama dua tahun terakhir, ada dua smelter nikel yang berhenti beroperasi karena faktor keekonomian akibat dari meningkatnya biaya operasi (kokas) dan melemahnya harga komoditas mineral di awal tahun 2017.
"Fasilitas pemurnian nikel yang berhenti beroperasi adalah Indoferro sejak 19 Juli 2017, dan Cahaya Modern Metal Industri sejak Januari 2016 karena kenaikan harga kokas mencapai US$ 300 per ton," kata Bambang, disalin dari laman Antara.
Tingkat keekonomian dalam mengoperasikan peleburan nikel dengan menggunakan teknologi "Blast Furnace" sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku, salah satunya adalah kokas yang memiliki porsi 40 persen dari total biaya produksi.
Penyebab utama tidak beroperasinya smelter yang menggunakan teknologi Blast Furnace adalah meningkatnya harga kokas dari rata-rata 100 dolar AS/ton pada tahun 2015 menjadi 200-300 dolar AS/ton sejak akhir 2016. Hal tersebut yang mengakibatkan terhentinya kegiatan produksi PT Cahaya Modern Metal Industri, sedangkan PT Indoferro sejak awal tidak didesain untuk memurnikan bijih nikel sehingga tingkat keekonomiannya akan berbeda dengan desain awal. Indoferro semula didesain untuk memurnikan bijih besi.
Sementara itu, Komisi VII DPR RI bersama Kementerian ESDM akan melakukan kunjungan kerja atau sidak ke sejumlah perusahaan pertambangan untuk melihat langsung proses pembangunan smelter. "DPR RI dan Pemerintah sudah memutuskan, pada masa persidangan berikutnya, akan melakukan kunjungan ke perusahaan pertambangan yang memiliki tanggung jawab membangun smelter," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Herman Khaeron.
Menurut Herman, DPR RI dan Pemerintah juga sudah memutuskan akan memberi sanksi berupa "financial penalty" bagi perusahaan yang progres pembangunan smelternya tidak sesuai ketentuan. Pemerintah, kata dia, masih membuat aturan teknisnya untuk pemberian sanksi berupa "financial penalty" termasuk besaran nilai sanksinya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Bambang Susigit mengatakan, Kementerian ESDM fokus memantau dan mengevaluasi realisasi ekspor dan kemajuan pembangunan smelter dalam negeri.
Menurut dia, progres pembangunan smelter menjadi barometer perpanjangan izin ekspor bagi setiap perusahaan pertambangan. Perkembangan pembangunan smelter dan realisasi ekspor, menurut dia, berdasarkan data dari Kementerian ESDN, saat ini sudah pada jalurnya.
"Data terbaru kami, realisasi ekspor dan perkembangan pembangunan smelter serta realisasi ekspor dalam tiga bulan pertama menunjukkan progres positif," kata Bambang. munib
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.