Relaksasi Ekspor Mineral Mentah Berlawanan dengan UU Minerba
JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menilai relaksasi ekspor bijih/ore mineral yang tengah diwacanakan pemerintah sangat bertentangan dengan komitmen UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Ketua Umum AP3I Prihadi Santoso mengatakan, wacana relaksasi ekspor mineral mentah lantaran kondisi ekonomi global yang belum kondusif. Di mana pemerintah harus memberikan dukungan kepada sektor industri untuk menyerap mineral mentah yang telah diproduksi. "Apabila pemerintah melakukan kebijakan relaksasi ekspor ore, maka komitmen pemerintah akan dipertanyakan oleh masyarakat luas, perusahaan smelter dalam negeri, serta investor luar negeri, yang menganggap pemerintah tidak serius dan tidak memiliki konsep yang jelas dalam program hilirisasi," kata Prihadi di Pomelotel, Jakarta, Rabu (7/9/2016).
Prihadi menyebutkan, kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah betentangan dengan program pemerintah untuk hilirisasi peningkatan nilai tambah produk pertambangan di dalam negeri yang sesuai semangat UUD 1945, pasal 33 ayat 3 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, serta UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang perindustrian, PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, PP Nomor 1 tahun 2014 dan Permen ESDM nomor 1 Tahun 2014.
PP Nomor 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014, menurut Prihadi, telah memberikan perpanjangan waktu untuk dapat melakukan penjualan hasil pengolahan konsentrat sampai 12 Januari 2017, yang artinya sampai batas waktu tersebut tidak ada lagi mineral yang diekspor.
Tidak hanya itu, kata Prihadi, kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah juga akan berdampak negatif pada iklim investasi, juga perusahaan smelter yang tidak memiliki pertambangan, lantaran akan sulit mendapatkan pasokan dari dalam negeri.
AP3I, kata Prihadi, juga merekomendasikan agar pemerintah dapat mencabut PP Nomor 17 Tahun 1986 tentang kewenangan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri. Hal ini dilakukan, kata Prihadi, untuk mengakhiri dualisme perizinan dan pembinaan industri smelter.
"Pemerintah juga harus memberikan kepastian pasokan raw material bagi smelter yang telah berdiri dan beroperasi dalam bentuk domestic market obligation beberapa komoditas mineral ore dan konsentrat dari segi kualitas, kuantitas dan nilai ekonomi, sehingga smelter dalam negeri tidak kesulitan memperoleh bahan baku," tandasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.