Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Bisa Ancam Kepercayaan Investor
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal melakukan relaksasi ekspor konsentrat. Relaksasi ini dilakukan karena perusahaan tambang masih belum bisa mengolah hasil bumi melalui smelter. Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah berhati-hati dalam membuka keran ekspor konsentrat. Hal ini karena relaksasi ini menyangkut kepercayaan dan masa depan investasi smelter jangka panjang.
“Jangan sampai relaksasi ini menggerus keyakinan investor bagi masa depan investasi smelter di tanah air,” ujar Ketua Bidang Energi dan Pertambangan BPP Hipmi Andhika Anindyaguna melalui siaran pers, Rabu (14/9).
Andhika mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dan mengelola dengan benar kebijakan ini bila hendak diterapkan. Karena upaya untuk relaksasi ini akan berdampak pada keinginan investor untuk menanamkan modalnya pada industri smelter.
“Jangan sampai investor menangkap kesan regulasi kita ini sangat lentur oleh sebab ada berbagai kepentingan sehingga investor menjadidistrust kepada regulator,” ujar Andhika.
Dia menjelaskan, nilai investasi di smelter saat ini sudah cukup besar. Nilainya telah mencapai Rp 156 triliun melalui 27 proyek smelter. Investasi sebesar ini harus dijaga betul perusahaan smelter tidak gulung tikar dan berpindah ke negara lain.
Ketika timbul ketidakpastian seperti kebijakan relaksasi ini, kata dia, maka dampak dari rusaknya investasi smelter ini sangat besar di antaranya akan menimbulkan kredit macet yang tinggi serta penghentian pembangunan dan investasi. “Komitmen pemerintah juga akan hancur, bikin regulasi apa saja ntar ga dipercaya lagi sama investor,” ujarnya.
Melihat hal tersebut, BPP Hipmi meminta agar semua pihak taat pada amanah dari Peraturan Menteri (Permen) ESDM 1/2014 tentang Larangan Ekspor Mineral Mentah ke Luar Negeri. Jika aturan tersebut dikerjakan, terhitung sejak 11 Januari 2017, tidak boleh ada lagi ekspor.
Permen ini muncul karena kewajiban membangun smelter dengan deadline 2014 tidak bisa dipenuhi. Peraturan ini merupakan kelanjutan dari UU Minerba 4/2009. Dalam UU tersebut meminta pelaku usaha melakukan pemurnian dalam jangka empat tahun sejak aturan dibuat.
Namun, tujuh tahun berselang beberapa perusahaan seperti PT Freeport Indonesia, Newmont Nusa Tenggara, dan beberapa pemegang izin belum mewujudkan perintah UU tersebut. Menurutnya, beberapa kali malah mendapatkan dispensasi ekspor konsentrat.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.