Relaksasi Mineral Ore, Wujud Inkonsistensi Pemerintah
JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Prihadi Santoso mengatakan, kondisi perekonomian global dan domestik belum sepenuhnya membaik. Situasi dan dinamika perekonomian masih terus berkembang seperti optimisme pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi 5,3% ditahun 2017 yang berarti lebih optimis ketimbang target tahun 2016 yang sebesar 5,2%.
Menurutnya, di tengah Kondisi ekonomi global yang belum kondusif, Pemerintah menyakini bahwa komsumsi dan investasi akan mampu menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi saat ini.
“Untuk itu Pemerintah harus terus memberikan dukungan kepada sektor industri untuk tetap konsisten pada kebijakan yang telah dibuat, dan memberikan paket kebijakan ekonomi dalam rangka memperbaiki iklim investasi dan iklim usaha,” ujar Prihadi di Jakarta, Rabu (7/9).
Kendati demikian, lanjut Prihadi, dalam kondisi pelemahan perekonomian seperti disebutkan diatas, ada upaya pihak-pihak lain mendorong kembali relaksasi ekspor bijih/ore mineral keluar negeri, hal ini bertentangan dengan program Pemerintah untuk hilirisasi peningkatan nilai tambah produk pertambangan didalam negeri, sesuai semangat UUD 1945, Pasal 33 Ayat 3; UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No. 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian; PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; PP No.1 Tahun 2014 dan PerMen ESDM No. 1 Tahun 2014.
Dikatakannya, PP No. 1 Tahun 2014 dan PerMen ESDM No. 1 Tahun 2014 memberikan perpanjangan waktu untuk dapat melakukan penjualan produk hasil pengolahan konsentrat (bukan bijih/ore) sampai 12 Januari 2017. Disadari bahwa tanggal 12 Januari 2017 merupakan batas waktu ekspor mineral olahan konsentrat, yang artinya tidak ada Iagi mineral (bukan bijih/ore) yang diekspor atau dalam bahasa umum adalah ”tidak ada lagi ekspor tanah dan air”.
“Apabila Pemerintah melakukan kebijakan relaksasi ekspor bijih/ore, maka komitmen Pemerintah akan dipertanyakan oleh masyarakat luas, perusahaan smelter dalam negeri, serta investor Iuar negeri, yang menganggap Pemerintah tidak serius dan tidak mempunyai konsep yang jelas dalam melakukan program hilirisasi Peningkatan Nilai Tambah sumber daya mineral di dalam negeri,” tegasnya.
Selain berdampak negatif pada iklim investasi, kata Prihadi, juga perusahaan smelter yang tidak memiliki pertambangan akan sulit‘ mendapatkan pasokan dari dalam negeri.
Menurut AP3I, lanjutnya, permasalahan bukan pada UU Minerba No.4/2009, namun berada pada peraturan turunannya, yakni PP No.23/2010, PP No.1/2014, PerMen ESDM No 1/ 2014.
“Untuk itu AP3I tidak merekomendasikan untuk merubah UU tersebut,” tuturnya.
Berangkat dari pemikiran itu, kata Prihadi, maka kami Asosiasi Perusahaan lndustri Pengolahan dan Permurnian Mineral Indonesia (AP3I), yang terdiri dari 21 perusahaan Smelter baik ferro maupun nonferro meliputi tembaga, nikel, besi/timah, silica, zircon dan mangan, dengan nilai investasi keseluruhan USD12 milyar dengan penyerapan tenaga kerja +/15,000 tenaga kerja menyampaikan sikap, pertama menolak relaksasi ekspor bijih/ore mineral, karena bertentangan dengan komitmen UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu dan Peraturan yang berlaku serta pernyataan Bapak Presiden R.l. pada saat peresmian pabrik Feronikel di PT Sulawesi Mining Investment pada tanggal 30 Mei 2015 dan pernyataan Komite Ekonomi dan lndustri (KEIN) pada tanggal 14 Agustus 2016.
Kedua, memberikan jaminan kepastian pasokan raw material bagi smelter yang telah berdiri dan beroperasi dalam bentuk ”domestic market obligation” beberapa komoditas mineral ore dan konsentrat dari segi kualitas, kuantitas, dan nilai ekonomi (harga) sehingga smelter dalam negeri tidak kesulitan memperoleh bahan baku (raw material).
Ketiga, merekomendasikan agar Pemerintah mencabut PP No.17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan, dan Pengembangan lndustri.
“Hal ini untuk mengakhiri dualisme perizinan dan pembinaan industri smelter,” ungkapnya.
Sebab itu, kata dia, AP3I merekomendasikan, pertama alternatif yang bisa dilakukan agar industri pertambangan tidak melakukan ekspor, seperti memenuhi demand keseluruhan industri smelter yang telah beroperasi selama ini, dengan harga ditetapkan pemerintah, mengacu harga komoditi internasional.
Selain itu, lanjutnya, apabila ada tekanan yang kuat sehingga Pemerintah memberikan izin ekspor (relaksasi) pada beberapa perusahaan karena alasan financial, seyogjanya Pemerintah selektif dengan syarat: perusahaan yang telah membangun smelter (di audit oleh independent auditor yang secara periodik melakukan melakukan penilaian), memberikan pemenuhan kewajiban supply dalam negeri (domestic market obligation) dan tambahan bea keluar ekspor. Pemberian izin ekspor ini juga dilihat dari jumlah kuota dan jangka waktu tertentu.
Kedua, momentum pembangunan industri smelter dalam negeri sepatutnya harus didukung penuh, dengan memberikan kemudahan berusaha (Paket incentive) dan percepatan infrastruktur dimana lokas‘i smelter berdiri.
“Dalam kurun waktu 2012-2016, investasi smelter telah berdiri 27 smelter, jumlah realisasi fantastis dalam kurun waktu 4 tahun,” ujarnya.
Ketiga, percepatan harmonisasi dan menderegulasi beberapa peraturan di pemerintah pusat, antar Kementerian dan pemerintah daerah yang menghambat iklim investasi industri smelter.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.