Renegosiasi Kontrak Karya Freeport, Apa Sesuai Mandat Konstitusi?
Dalam renegosiasi Kontrak Karya PT Freeport Indonesia (KK PTFI), dikenal aneka istilah dalam perjanjian, yaitu MoU (Memorandum of Understanding) dan HoA (Heads of Agreement).
Perjanjian baik yang berupa MoU maupun HoA antara Pemerintah Indonesia dengan (PTFI) adalah bagian dari pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Di dalam UU Minerba diperintahkan KK disesuaikan dengan UU Minerba, selambat-lambatnya satu tahun setelah UU Minerba diundangkan dan kewajiban melakukan pemurnian bahan hasil penambangan selambat-lambatnya lima tahun setelah Undang-Undang Minerba diundangkan.
Ketika kini batas waktu penyesuaian KK PTFI telah melampaui masa tenggatnya, bagaimana negara akan menyelesaikan tugasnya sesuai mandat konstitusi ?
Pasal 33 UUD 1945 telah memberikan mandat adanya penguasaan negara atas bumi, air, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memiliki beberapa pendapat terkait konsepsi tentang penguasaan negara.
Pertama, penguasaan negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.
Kedua, penguasaan Negara merupakan mandat rakyat secara kolektif kepada negara untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketiga, pengelolaan Negara secara langsung sebagai pilihan pertama dan paling penting untuk melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam.
Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara.
Keempat, penguasaan negara bertujuan untuk melindungi kemakmuran rakyat dalam kaitannya dengan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sepanjang menyangkut tanah, dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, di antaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa redistribusi tanah negara harus memprioritaskan petani yang benar-benar tidak punya tanah.
Kelima, penguasaan negara tidak dapat dikurangi atau ditiadakan oleh pemberian hak atas tanah. Mahkamah Konstitusi melarang pemberian hak-hak atas tanah diberikan dengan perpanjangan di muka sekaligus, karena dapat mengurangi, sekalipun tidak meniadakan, prinsip penguasaan oleh negara.
Keenam, “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” di bidang sumber daya alam diperlukan empat tolok uku,r yaitu : (i). Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii).Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii).Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, (iv).Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam pemanfaatan sumber daya alam. Konstitusionalitas
Pemerintah telah menjalankan fungsi-fungsi penguasaan negara melalui pengaturan, berupa UU Minerba dan aturan turunannya. Melalui pengurusan berupa renegosiasi atau negosiasi dan hendak masuk ke dalam pengelolaan langsung melalui kesepakatan (HoA) pembelian 51 persen saham PTFI. Renegosiasi Kontrak Karya PTFI, seharusnya tidak hanya mengubah nama dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Substansinya harus terkait dengan pembatasan luas tanah yang dipergunakan serta rencana kegiatan dan alokasi dana tanah pasca tambang; kewajiban peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri (larangan ekspor bahan tambang mentah dan kewajiban membangun smelter); pengutamaan pemanfaatan tenaga kerja, barang, dan jasa dari dalam negeri serta pengusaha lokal; kewajiban divestasi saham kepada Pemerintah, Pemda, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta nasional; kenaikan pembayaran untuk pajak dan penerimaan negara bukan pajak, dan mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Artinya, renegosiasi bukanlah sarana perpanjangan kontrak, akan tetapi agar kontrak karya harus disesuaikan dengan Undang-Undang Minerba, baik isinya maupun batas waktu penyesuaiannya agar bisa pergunakan dan dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besar kemakmuran.
Memang pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Jokowi hadir ketika masa tenggat penyesuaian sudah habis. Namun, sayangnya renegosiasi awal di masa Presiden Jokowi dihadapkan pada permasalahan akibat kasus “papa minta saham” dan kontroversi pengangkatan Arcandra Tahar sebagai sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Akhirnya, renegosiasi KK PTFI semakin berlarut-larut dan segera akan memasuki tahun 2019, ketika tiba masa waktu perpanjangan KK PTFI harus dinegosiasikan berbarengan dengan tahun politik.
Berlarutnya renegosiasi Kontrak Karya Freeport menimbulkan kerugian negara sebagimana diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2014. Bahwasanya PTFI sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang menikmati tarif royalti emas sebesar 1 persen dari harga jual per kg.
Padahal, di dalam peraturan pemerintah yang berlaku, tarif royalti emas sudah meningkat menjadi 3,75 persen dari harga jual emas per kg, dengan berlarut-larutnya penyesuaian kontrak oleh PTFI, terjadi kerugian keuangan negara sebesar 169 juta dolar AS setiap tahun dari yang semestinya menerima 330 juta dolar AS. Sebelum KPK, pada Juni 2011, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena Menteri ESDM, Freeport, Presiden, dan DPR tidak melakukan renegosiasi atas KK PTFI ketika KK bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan PP No 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual. Sedangkan dalam KK PTFI, royalti emas sebesar 1%..
Renegosiasi KK PTFI selama ini telah melahirkan sejumlah MoU yang memungkinkan PTFI untuk melakukan ekspor bahan tambang mentah yang telah dilarang oleh UU Minerba. Berdasarkan pembayaran royalti yang tidak sesuai aturan dan kemudahan untuk bisa kembali melakukan ekspor bahan tambang mentah, apakah Pemerintah harus mengeluarkan anggaran termasuk berhutang untuk membeli saham PTFI?
Selain permasalahan kerugian negara, terdapat juga masalah keterlibatan Orang Papua. Renegosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PTFI seharusnya melibatkan persetujuan masyarakat adat yang tanah adatnya masuk di wilayah KK PTFI Berdasarkan MoU Tahun 2000 antara PTFI dengan Lemasa (Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme) dan Lemasko (Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro), ditegaskan keharusan PTFI menyediakan Dana Perwalian (Trust Fund) sebagai rekognisi tambahan bagi Suku Amungme dan Komoro.
Dana tersebut sebagian atau keseluruhan digunakan untuk membeli saham PTFI sebagai bentuk jaminan kepemilikan yang berkelanjutan di dalam operasi tambang bagi pihak Amungme dan Kamoro. MoU tersebut menunjukkan pengakuan PTFI atas kepemilikan tanah ulayah Suku Amungme dan Kamoro, dan sebagai pemilik tanah maka berhak mendapatkan saham PTFI.
Dalam proses selanjutnya, semoga MoU, HoA, dan mungkin ada istilah baru lagi, semoga tidak menjadi bagian yang menyimpang dari mandat UUD 1945 dan UU Minerba.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.