REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan rupiah yang hingga mencapai Rp 15.133 pada Kamis (4/10) dinilai karena kurangnya koordinasi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk meredam sentimen negatif ekonomi global.
Berdasarkan kurs tengah BI, mata uang rupiah turun ke level terendah 15.133 per dolar pada hari Kamis (4/10), terlemah sejak krisis keuangan Asia pada Juli 1998. Sementara itu berdasarkan Bloomberg, rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini berada di Rp 15.120 per dolar AS, dengan depresiasi sebesar 12,04 persen sejak awal tahun.
Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Repo Rate sebanyak 100 basis points sejak Gubernur BI Perry Warjiyo menjabat pada Mei 2018 lalu. Saat ini suku bunga acuan telah mencapai 5,75 persen. Di sisi lain, cadangan devisa juga sudah banyak terkuras untuk menstabilkan rupiah.
"Dari sisi moneter saja tidak cukup. Masalahnya ada di tim kementerian ekonomi, termasuk Menkeu yang lambat merespon," ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira kepada Republika.co.id, Kamis (4/10).
Ia mencontohkan kebijakan yang lambat direspons Kementerian Keuangan, yakni soal pengendalian impor hanya menyentuh barang konsumsi yang tidak signifikan. Efek dari Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor, hanya 5,5 persen dari total impor non migas.
Menurut Bhima, seharusnya 10 barang impor yang paling besar, termasuk besi baja yang dikendalikan. Karena besi baja dumping dari Cina menguras devisa secara signifikan.
"Kenapa itu (impor besi baja) tidak diatur? Ibarat orkestra musik terlihat simfoni kebijakannya tidak teratur. Miskoordinasinya terlalu parah. Moneter jalan kemana, fiskal jalan ke arah lain. Akhirnya menciptakan distrust dimata investor," tutur Bhima.
Pemerintah harus dapat menekan defisit transaksi berjalan lewat pengendalian impor 10 barang terbesar lewat kenaikan bea masuk dan kebijakan anti dumping.
Langkah lain yang dapat dilakukan yakni memberikan insentif yang lebih besar dan jaminan kurs preferensial kepada pengusaha agar segera konversi devisa hasil ekspor (DHE) ke rupiah.
"Saat ini, baru 13 persen DHE yang dikonversi ke rupiah, sisanya dalam bentuk valas," kata Bhima.
Cara cepat lainnya, kata Bhima, dengan mengurangi tarif pungutan ekspor untuk minyak sawit mentah (CPO) dari saat ini seharga 50 dolar AS per ton untuk yang mentah dan 30 dolar AS per ton untuk yang olahan, menjadi 20 dolar AS per ton.
Minyak sawit merupakan penyumbang devisa nonmigas terbesar. Adanya hambatan bea masuk ke India jadi persoalan yang membuat kinerja ekspor CPO tidak optimal.
"Jika pungutan ekspor direlaksasi sementara daya dorong sawit diharapkan menekan defisit perdagangan dan menguatkan kurs rupiah. Nanti ketika sudah mulai stabil ekspornya, pungutan ekspor CPO bisa dikenakan lagi," kata Bhima.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.