Sanksi finansial dalam pembangun smelter menuai kritik
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menerapkan sanksi finansial sebanyak 20% bagi eksportir mineral mentah dan konsentrat yang tidak serius membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) menuai kritik.
Ketua Indonesian Mining Institue (IMI), Irwandy Arif mengatakan, konsistensi pemerintah perlu dipertanyakan dalam kebijakan tersebut. Pasalnya, penerapan sanksi finansial tersebut diterapkan di tengah jalan.
"Seharusnya pemerintah tegas dengan aturan di awal pembangunan smelter. Apakah aturannya sama dengan aturan pada saat mereka membangun? Kalau sama artinya konsisten, tapi kalau aturan baru mungkin bermasalah," tuturnya kepada Kontan.co.id, Selasa (16/5).
Menurut Irwandy, pemerintah dan perusahaan perlu mengacu pada perjanjian di awal pada saat perusahaan berkomitmen membangun smelter.
Asal tahu saja, sanksi 20% itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan pada 3 Mei 2018. Hal tersebut tercantum dalam pasal 55 ayat 8.
Dalam hal ini, pemerintah akan menjatuhkan sanksi finansial berupa denda 20% dari total nilai mineral yang telah diekspor apabila pembangunan smelter tidak mencapai target per enam bulan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Budi Santoso mengatakan sanksi finansial yang ditetapkan itu belum tentu bisa mempercepat program hilirisasi.
Ia menilai sejak awal, bahwa program hilirisasi mineral sudah sulit untuk diwujudkan. Pasalnya, banyak kesulitan yang pasti dialami oleh perusahaan. "Program hilirisasi susah diwujudkan. Kesulitan dari sisi finansial, teknikal, dan kondisi lain yang dialami setiap pemegang berbeda-beda," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (16/5).
Menurutnya, pemerintah tidak bisa menutup mata dengan membuat aturan yang ketat begitu saja. Dia pun menilai jangka waktu ekspor mineral mentah dan konsentrat selama 5 tahun sejak 2017 tidak bisa disamaratakan.
"Lebih baik pemerintah memberikan waktu lima tahun untuk mewujudkan smelter sejak izin ekspor dikeluarkan daripada semuanya dipatok di Januari 2022," ujarnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/2017, pemegang IUP/IUPK masih bisa mengekspor mineral yang belum dimurnikan selama lima tahun dengan syarat membangun smelter. Adapun hingga saat ini pembangunan smelternya masih belum signifikan.
Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Arie Prabowo Ariotedjo menilai bahwa kebijakan sanksi 20% ini merupakan kebijakan yang tepat. Supaya, realisasi pembangunan smelter bisa sesuai yang ditargetkan oleh para eksportir pertambangan.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.