JAKARTA – Menyandang predikat sebagai pemilik potensi mineral logam terbesar nomor tiga di dunia, membuat pemerintah berpikir keras untuk mengoptimalkan tiap celah potensi yang ada. Salah satu strategi jitunya adalah membidik mineral logam itu agar bisa tembus ke pasar ekspor.
Tak hanya berupaya menggenjot volume, lebih lagi pemerintah berupaya agar mineral logam yang dipasarkan di mancanegara memiliki nilai tambah. Maklum, hingga kini mineral yang diekspor lebih banyak berupa bahan mentah.
Hal itu diakui oleh Direktur Utama Pusat Investasi Pemerintah, Syahrir Ika, dalam kajiannya terkait kebijakan hilirisasi mineral. Hal ini yang menyebabkan kontribusi sektor mineral logam terbilang masih mini.
Dalam pandangannya, kecilnya kontribusi sektor mineral logam lantaran sebagian besar perusahaan tambang hanya beroperasi di hulu (uspstream). Kalau pun ekspor, bentuknya hanya berupa bijih atau mineral yang nilai tambahnya rendah.
Mirisnya, realita itu telah mengakar lebih dari 40 tahun. Cap sebagai eksportir dengan spesialisasi bahan mentah pun akhirnya melekat bagi Indonesia.
Hal serupa juga dikemukakan oleh pengamat logam industri Fithra Faisal Hastiadi. Dalam kacamatanya, secara umum dilihat dari field comparative index-nya, Indonesia unggul dalam produk-produk pertambangan dan turunannya.
“Artinya sebenarnya cukup diminati. Cuma memang masalahnya adalah minim nilai tambah. Kita biasanya mengekspor mentah saja tidak ada nilai tambahnya. Ini harus ada upaya-upaya untuk ke sana,” ucap Fithra saat dihubungi Validnews, Kamis (3/1).
Dalam kenyataanya, hasil produksi mineral logam berupa raw material dalam negeri juga rupanya kurang mumpuni untuk dapat diserap oleh perusahaan pengolah, seperti PT Krakatau Steel, misalnya.
“Istilahnya besinya itu belum tua. Besinya masih besi muda, jadi kalau diproduksi di kita kualitasnya kurang memenuhi,” kata Head of Investor Relations PT Kakatau Steel Widita Andaka kepada Validnews, Jumat (31/12).
Besi muda atau laterite iron pun tingkat kemurniannya harus ditingkatkan lewat pemrosesan lebih lanjut di smelter, agar bahan mentah itu mampu mencapai standar bahan baku produk akhir.
Demi mendongkrak nilai tambah, pemerintah melarang ekspor mineral dalam bentuk mentah yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010. Kebijakan yang mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tersebut mulai berlaku sejak 12 Januari 2014 atau lima tahun sejak UU Nomor Tahun 2009 diundangkan.
Pada tahun 2017, PP tersebut kembali disempurnakan lewat PP Nomor 1 Tahun 2017.
Langkah tegas pemerintah tersebut diambil, lantaran sejak Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 lahir, kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pemegang Kontrak Karya (KK) untuk mendirikan smelter di dalam negeri tak juga dijalankan.
Produksi Anjlok Dengan diberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah mineral pada Januari 2014, produksi bijih besi menurun tajam sebesar 95% dari 19,60 juta ton pada tahun 2013 menjadi 1,03 juta ton pada tahun 2014.
Pasalnya, menurut kajian dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hampir sebagian besar perusahaan pertambangan bijih besi menghentikan kegiatan produksinya akibat kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah mineral tersebut.
Di sisi lain, kala itu juga terjadi kelesuan ekonomi pada industri manufaktur dan properti di China dan Rusia. Situasi ini, berdampak pada penurunan harga jual bijih besi, konsentrat besi, pig iron hingga baja.
Akibatnya, pengusaha pertambangan bijih besi dan logam besi di Indonesia untuk sementara mengerem ekspor dan produksi. Saat itu, harga bijih besi anjlok dari US$135 per ton pada tahun 2013 menjadi US$ 97 per ton atau turun sekitar 28% pada tahun 2014, dan terus menunjukkan tren yang menurun hingga tahun 2015 pada level US$ 58 per ton.
Hingga kini, ESDM mencatat smelter yang terealisasi dalam kurun waktu 2015–2017 baru sebanyak 12 smelter. Padahal, pemerintah sendiri sepanjang periode tersebut menargetkan 20 smelter yang siap mengolah raw material yang dihasilkan.
Meski meleset dari target, Direktur Pembinaan Pengusaha Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak, menilai regulasi yang telah ditetapkan itu sudah mampu menggerakkan pengusaha tambang untuk membangun smelter.
“Saya kira bagus ya, tahun 2018 ini saja sudah terbangun 2 smelter. Itu Bintang Smelting Indonesia, satunya lagi Virtu,” kata Yunus saat ditemui Validnews di Kantor ESDM, Jumat (4/1).
Kata Yunus, ada beberapa smelter lain yang masih dalam proses pembangunan. Namun, dirinya tidak menjelaskan lebih rinci terkait jumlah smelter-nya. Yunus mengklaim, pihaknya tetap melakukan pengawasan terhadap perkembangan smelter setiap enam bulan sekali.
“Katakanlah mereka dalam 6 bulan ini merencanakan untuk menyelesaikan AMDAL, tapak smelter-nya, kemudian kajian lingkungan, dll itu sudah. Makanya progresnya kita update jadi sekian persen. Untuk menentukan berapa persen itu dilakukan oleh verifikator independen, namanya Surveyor Indonesia, ada Sucofindo juga yang melakukan itu,” ungkapnya.
Nantinya, para surveyor itulah yang akan melanjutkan laporan ke Kementerian ESDM. Jika dinilai sudah siap, baru perusahaan tersebut akan diberi Surat Persetujuan Ekspor (SPE). Contoh pemain sektor tambang yang sudah memiliki smelter adalah PT Antam Tbk (Antam), PT Inco Tbk (Vale) dan PT Semelting Gresik (PTSG).
PTSG membangun smelter tembaga di Gresik untuk mengolah konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga (cooper cathode), sementara Vale membangun dan mengoperasikan smelter nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan yang mengubah bijih nikel menjadi nickel matte. Sementara, smelter Antam berada di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Sayangnya, kapasitas smelter yang dimiliki tergolong masih minim. Kapasitas yang terbatas itu berakibat pada kecilnya penyerapan mineral mentah yang sudah didapat. Menurut Syahrir, inilah yang membuat sebagian besar mineral mentah yang telah diproduksi, harus rela untuk dikirim ke pasar ekspor.
Untuk itu, imbuhnya, pemerintah berupaya untuk memperbanyak lagi smelter di banyak titik. Lewat roadmap industri logam yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian, pembangunan smelter digencarkan untuk tiap komoditas logam strategis.
Salah satunya adalah rancangan pembangunan smelter untuk industri besi baja yang kapasitasnya mencapai 14 juta ton. Total investasi yang dibutuhkan sampai tahun 2025 guna membangun smelter itu sebanyak US$14 miliar, atau setara dengan Rp140 triliun.
Untuk aluminium, pada tahun 2022 ditargetkan dapat membangun tambahan smelter dengan kapasitas 1 juta ton. Lalu, pada 2025 ditargetkan akan ada tambahan smelter berkapasitas 1 juta ton.
Sementara, untuk smelter tembaga dengan kapasitas 400 ribu ton ditargetkan sudah terbangun pada 2020. Di tahun 2025 juga ditargetkan penambahan kapasitas smelter sebanyak 400 ribu ton.
Ekspor Diirit Meskipun pemerintah sudah berupaya, sayangnya raw material asal Indonesia masih cukup banyak membanjiri pasar luar negeri. Jika menilik data analisa komoditi ekspor yang diluncurkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), peredaran raw material patut menjadi perhatian.
Untuk bijih tembaga saja, pada tahun 2011 nilainya pernah mencapai US$4,7 miliar. Pada tahun 2012 nilai ekspor bijih tembaga turun menjadi US$2,59 miliar. Sayangnya, pada tahun 2013 bijih tembaga yang diekspor mengalami peningkatan sebesar 15,88% dengan angka US$3,0 miliar.
Tahun 2014 nilai ekspor komoditas ini kembali menurun 44,01%, dan kembali meningkat pada tahun 2015 dengan nilai US$3,27 miliar. Lebih lanjut, ekspor bijih tembaga kembali mengalami peningkatan pada tahun 2016 sebesar US$3,48 miliar. Pada tahun 2017, nilai ekspor turun tipis 1,21% dengan nilai US$3,43 miliar.
Beberapa negara tujuan utama untuk komoditas bijih tembaga pada tahun 2017 adalah Jepang, Filipina, India, China, dan Korea Selatan dengan nilai ekspor masing-masing US$999,0 juta, US$870,9 juta, US$694,5 juta, US$451,4 juta dan US$423,9 juta.
Sementara untuk bijih besi, pada tahun 2011 nilainya mencapai US$342,6 juta. Selang setahun berlalu, ekspor komoditas ini mampu kembali turun menjadi US$251,0 juta. Sayangnya, tahun 2013 ekspor bijih besi melesat 70,3% menjadi US$426,8.
Tahun 2016, nilai ekspor bijih besi hanya berkisar US$31,4 juta. Hingga akhirnya, pada tahun 2017 nilai ekspor dapat ditekan hingga hanya US$27,3 juta dengan total berat sebanyak 1,99 juta ton yang seluruhnya diekspor ke China.
Mulai tertekannya ekspor raw material dari para produsen itu pun diamini oleh Yunus. Menurutnya, dari sisi kuantitas, ekspor telah turun dibandingkan sebelumnya.
“Itu kalo bahasanya dieman-eman (disimpan/diirit-irit.red). Karena disiapkan untuk pengolahan di Indonesia. Memang tujuan utamanya ya untuk mengirit cadangan yang ada, agar nanti kalau pun mau diekspor ya sudah bernilai tambah,” jelasnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.