Smelter Timah Tutup, Aktivitas Tambang Ilegal Makin Marak
TEMPO.CO, Pangkalpinang - Berhentinya aktivitas ekspor puluhan perusahaan peleburan atau Smelter timah di Bangka Belitung saat ini tidak diikuti dengan menurunnya tambang timah liar. Bahkan tambang timah ilegal baik di darat dan di laut semakin sporadis dan bertambah jumlahnya.
Pengamat Pertambangan dari Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia atau LCKI Bangka Belitung Bambang Herdiansyah mengatakan dengan berhentinya perusahaan peleburan timah, seharusnya diikuti dengan menurunnya aktifitas penambangan timah ilegal. Namun berdasarkan fakta yang ditemui dilapangan, tidak ditemukan adanya penurunan.
"Jika bicara kondisi idealnya, maka keberadaan tambang-tambang timah ilegal ini seharusnya turun jumlahnya. Namun ini justru semakin bertambah. Kondisi ini kemudian menimbulkan pertanyaan. Dulu swasta jadi sasaran yang disalahkan terkait tambang ilegal. Sekarang mereka tutup, barangnya kemana," ujar Bambang kepada Tempo, Selasa, 9 Juli 2019.
BACA: Ekspor Timah Stop, Atomindo Minta Permen ESDM Dievaluasi
Menurut Bambang, saat ini ada pemain atau pihak baru yang berperan sebagai penampung dan pembeli hasil produksi dari tambang- tambang timah tanpa izin sehingga membuat ilegal mining di Bangka Belitung masih tetap eksis hingga sekarang.
"Untuk memastikan siapa sebenarnya yang berada dibalik aktivitas ilegal mining tidak sulit. Cukup mengunakan logika sederhana, yaitu dari sekian perusahaan peleburan timah yang masih beroperasi, dapat dilihat perusahaan mana yang mengalami peningkatan hasil produksi secara signifikan," ujar dia.
Bambang menuturkan pendataan dan verifikasi terhadap smelter timah yang dilakukan oleh tim gabungan Mabes Polri dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bangka Belitung periode Oktober 2016 - Januari 2019 lalu merupakan cara yang tepat memutus mata rantai ilegal mining yang terjadi di Bangka Belitung.
"Tim ini sudah bekerja benar dengan melakukan pengecekan terhadap dokumen perusahaan, stok bijih timah, hasil produksi balok timah yang belum dijual dan langsung turun ke lokasi mengecek Izin usaha Pertambangan (IUP). Dampaknya hanya beberapa smelter yang bertahan, selebihnya berhenti beroperasi atau tutup," ujar dia.
Dengan kondisi itu, kata Bambang, peran kolektor timah yang selama ini menyuplai timah dari hasil membeli dan menambang dari cara yang ilegal ke perusahaan seharusnya juga habis. Namun fakta di lapangan tidak menunjukkan menurunnya tambang ilegal.
"Kesimpulannya dipastikan diduga ada perusahaan peleburan timah yang masih beroperasi ikut mengambil keuntungan dari kerusakan lingkungan yang terjadi di Bangka Belitung," ujar dia.
Bambang menambahkan pemerintah perlu mengambil sikap terkait kondisi tersebut dengan memeriksa dan mengevaluasi kembali aktivitas tambang dari hulu dan hilir. "Dan jika pun ditemukan adanya pelanggaran hukum, harus ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku," ujar dia.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.