Soal Divestasi, AMNT Tidak Bisa Disamakan dengan Freeport
Jakarta - Centre For Indonesian Resources Studies (Ciruss) menyatakan, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) tidak bisa disamakan dengan PT Freeport. Kedua perusahaan tambang tembaga tersebut, dinilai memiliki persoalan berbeda yang dihadapi dalam menyikapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.
Direktur Ciruss, Budi Santoso, mengatakan, persoalan yang dihadapi itu terkait ketentuan divestasi 51 persen. AMNT, kata dia, tidak perlu menjalankan kewajiban divestasi itu lantaran sudah mayoritas dimiliki perusahaan nasional. Sedangkan Freeport, wajib melepas sahamnya lantaran kepemilikan pemerintah sebesar 9,36 persen.
"Amman sebagai perusahaan nasional tetap menguasai saham mayoritas sampai berakhirnya IUPK. Jadi perusahaan tetap mengontrol perusahaan. Berbeda kasusnya dengan Freeport yang akhirnya harus minoritas setelah divestasi 51 persen," kata Budi di Jakarta, Kamis (16/3).
AMNT sebelumnya bernama PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang berstatus sebagai pemegang Kontrak Karya. Namun, sejak 10 Februari kemarin AMNT beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Hal ini seiring dengan kebijakan pemerintah yang melarang pemegang KK untuk ekspor konsentrat sejak 11 Januari 2017 kemarin.
Hanya pemegang IUPK saja yang diizinkan ekspor selama lima tahun kedepan dengan syarat membangun fasilitas pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri. Pemegang KK bisa ekspor konsentrat jika beralih menjadi IUPK.
Kementerian ESDM sebenarnya sudah menerbitkan IUPK bagi Freeport. Hanya saja hal tersebut ditolak lantaran kepastian fiskal dan jaminan hukum dalam KK belum dimasukkan ke dalam IUPK. Kini pemerintah dan Freeport sedang berunding mengenai hal tersebut.
Budi menuturkan, perubahan status IUPK itu membuat Freeport wajib melepas 51 persen kepemilikan sahamnya. Ketentuan ini berbeda dengan PP 77/2014 yang mengklasifikasikan divestasi 30 persen untuk kegiatan tambang bawah tanah. Freeport bahkan sudah menawarkan 10,64 persen kepada pemerintah seharga US$ 1,7 miliar pada awal 2015 silam. Hanya saja hingga saat ini belum jelas nasibnya. Kini dengan beleid teranyar maka Freeport harus berpikir ulang terkait kewajiban 51 persen tersebut. Meskipun dalam KK yang diteken Freeport pun mengatur kewajiban serupa.
Dikatakannya Freeport Indonesia merupakan aset bagi Freeport McMoRan Inc sebagai induk perusahaan. Kepemilikan saham di tambang Papua menjadi salah satu penilaian dalam mendapatkan dana segar untuk pengembangan investasi tambang bawah tanah. Mengingat tambang terbuka Grasberg segera ditutup dan beralih ke tambang bawah tanah.
"Freeport Indonesia sebagai aset bisa dikonsolidasikan dengan Freeport McMoRan kalau masih mayoritas. Juga nanti berkaitan dengan pinjaman dana yang biasanya mengandalkan principalnya (perusahaan induk)," jelasnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot sebelumnya mengungkapkan investasi AMNT tahun ini mencapai US$ 9 miliar. Dana itu untuk pengembangan tambang dan membangun smelter.
"Amman itu pakai IUPK. Dia investasi US$ 9 miliar tenang-tenang saja, enggak ada masalah," ujarnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.