Tambang China Bisa Tertib, Freeport Kok Nggak Bisa?
RMco.id Rakyat Merdeka - Anggota DPR asal Papua Barat Robert J Kardinal menyayangkan keengganan PT Freeport Indonesia (PTFI) membangun pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter).
Robert curiga, PTFI enggan membangun smelter karena tidak ingin melaporkan jenis mineral yang ditambangnya di Papua. “PT Freeport ini cuma cari alasan saja. Freeport ini sudah 50 tahun menambang di sana, tidak mungkin karena Covid-19 kemudian keuangannya terganggu. Saya curiga sejak awal tidak ada niat untuk itu (bangun smelter),” kata Robert, kemarin.
Robert mengingatkan, membangun smelter merupakan salah satu syarat perpanjangan operasional tambang PT Freeport dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 2018.
Sementara, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara mewajibkan setiap perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia membangun smelter. Kewajiban ini dilakukan paling lambat tiga tahun sejak Undang-Undang ini disahkan. Ini artinya, pada tahun 2023, PT Freeport sudah harus selesai membangun smelter.
Ironinya, PT Freeport malah menolak membangun smelter baru. Daripada membangun smelter, mereka menyarankan perluasan smelter tembaga yang merupakan milik PT Smelting di Gresik.
Bagi politisi Papua ini, PT Freeport telah menunjukkan iktikad tidak baik dalam beru saha di Indonesia. “Sekarang perusahaan-perusahaan asal China yang investasi di Indonesia, belum ambil untung sudah bangun smelter. Masa Freeport yang sudah untung ratusan miliar dolar dari puluhan tahun menambang di Papua, tetapi tidak ada niat sedikit pun membangun smelter,” sindirnya.
Karena itu, politisi Partai Golkar daerah pemilihan Papua Barat ini meminta pemerintah bersikap tegas terhadap PTFI. Jika tidak, ini akan mencoreng wajah Pemerintah Indonesia karena dianggap tidak berlaku adil dan setara dalam memper lakukan setiap investor yang masuk ke Indonesia. “Kita sayangkan pemerintah pusat juga tidak bisa menekan Freeport untuk bangun smelter di Papua. Ini sebenarnya menunjukkan niat pemerintah mem bangun kawasan Papua masih setengah hati,” katanya.
Sementara, Sekretaris II Dewan Adat Papua John Gobai meminta pemerintah ikut memperhatikan aspirasi masyarakat Adat Papua. Khususnya, Masyarakat Hukum Adat Amungme dan Kamoro. “Sekarang pemerintah sudah dapat 51 persen (saham Free port). Kami bukan ingin mengemis atau meminta belas kasih dari pemerintah berupa saham, tapi kapan bicara dengan kami sebagai pemilik tanah,” katanya.
Dia bilang, pemerintah dan PTFI tidak boleh hanya mencintai kekayaan alam Papua tapi melupakan hak masyarakat Papua sebagai pemilik tanah dan gunung di sana.
Dia berharap pemerintah bisa lebih menghargai hak masyarakat adat Papua sebagai pemilik tanah dan gunung yang sedang ditambang PTFI. “Kami minta Presiden segera gelar sesi khusus tentang hak masyarakat pemilik tanah yang dihadiri pemerintah, PTFI dan masyarakat adat. Ini demi pengakuan dan penghormatan terha dap hak masyarakat adat pemilik tanah,” pungkasnya. [KAL]
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.