JENEWA – Kebijakan pemerintah melarang ekspor nikel beberapa waktu lalu, berbuntut panjang. Kala polemik di dalam negeri masih ada, dari luar negeri kemungkinan akan ada gugatan dari Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terhadap kebijakan tersebut. Indonesia punya waktu 10 hari untuk menjawab permintaan tersebut. Dan, juga diberikan waktu 30 hari untuk konsultasi resmi.
Duta Besar Indonesia untuk PBB dan WTO, Hasan Kleib, mengakui, ada permintaan konsultasi dari duta besar Uni Eropa di Jenewa. Jika rangkaian proses konsultasi ini tak menemui kesepakatan, persoalan bisa berproses ke panel penyelesaian sengketa.
“Forum konsultasi ini memang adalah awal proses menuju penyelesaian sengketa di WTO,” Kleib, seperti dikutip dari Asean Economist, Kamis (28/11).
Uni Eropa sendiri mempertanyakan hal ini resmi ke WTO pada 22 November. Mereka menyatakan kebijakan itu ‘menyalahi aturan’. Keberatan ini beralasan. Dengan pelarangan ekspor, banyak negara di Eropa yang berusaha pada bidang manufaktur baja kebingungan untuk memproduksi.
“Pelarangan ini tak adil bagi kami, Uni Eropa yang membutuhkan,” demikian pernyataan Komisi Eropa dalam protesnya.
Nikel selama ini menjadi bagian penting untuk pembuatan baja. Akibat pelarangan, banyak perusahaan di ‘Benua Biru’ ini mengkhawatirkan akan kehilangan pasokan guna memenuhi permintaan pasar. Apalagi selama ini Indonesia dikenal sebagai negara terbesar pemasok nikel. Seperempat kebutuhan nikel dunia dipasok Indonesia.
Terhadap permintaan ini, Dubes Kleib mengatakan, perwakilan RI di sana akan membahas agenda tersebut, semisal menentukan waktu dan tempat untuk pertemuan. Hingga kini, belum ada jawaban resmi pemerintah terhadap pertanyaan Uni Eropa.
Sementara, Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar menilai aduan EU mengenai pembatasan ekspor bijih nikel Indonesia sebagai "salah sasaran". Dikatakannya, salah satu pertimbangan Indonesia dalam mengambil kebijakan tersebut yakni untuk menjaga lingkungan hidup.
Mahendra juga menambahkan bahwa dalam konteks perdagangan internasional, pembatasan ekspor demi menjaga lingkungan hidup dibenarkan untuk dilakukan oleh negara berkembang.
"Kita lakukan (kebijakan) ini berdasarkan pertimbangan untuk menjaga lingkungan hidup. Lalu juga memperkuat bagaimana pemanfaatan tadi memberikan nilai tambah terhadap produk itu sendiri," kata Wamenlu, dikutip dari Antara.
Larangan ekspor bijih nikel sendiri dikeluarkan resmi per 1 Januari 2020. Pelarangan diberlakukan dua tahun lebih cepat dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang memperbolehkan ekspor komoditas tambang tersebut hingga 2022.
Alasan pemerintah mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel, pertama, karena cadangan nikel nasional yang diekspor sudah sangat besar. Tercatat cadangan bijih nikel yang bisa ditambang di Indonesia hanya tinggal 700 juta ton dan diperkirakan bisa bertahan 7-8 tahun ke depan.
Pertimbangan kedua adalah perkembangan teknologi yang sudah maju. Indonesia bisa memproses bijih nikel dengan kadar rendah, yang bisa dimanfaatkan pula sebagai bahan baku baterai lithium kendaraan listrik. Dan yang ketiga adalah, smelter yang sudah mencukupi untuk mengolah bijih nikel menjadi feronikel. Saat ini terdapat 11 smelter pengolahan nikel yang sudah beroperasi di Indonesia. Pada saat sama ada 25 smelter lain yang masih dibangun. (Rikando Somba)
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.