PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengaku sulit mendapatkan investor untuk mengembangkan proyek pembangunan smelter di Bahodopi, Sulawesi Tengah. Padahal, perusahaan sempat melakukan pra uji kelayakan terhadap salah satu perusahaan asal China.
Direktur Utama Vale Indonesia Nico Kanter menjelaskan, salah satu penyebab sulitnya perusahaan mendapatkan mitra dikarenakan aturan pemerintah yang kembali membuka keran ekspor mineral mentah, khususnya bijih nikel.
"Dengan diperbolehkannya kembali ekspor bijih nikel walaupun terbatas akan mengurangi insentif membangun di dalam negeri karena pasokan bijih mentah menjadi tersedia di China," papar Nico, Senin (7/8). Lihat juga: Agung Podomoro Finalisasi Jual Hotel Pullman ke REIT Thailand
Aturan relaksasi ekspor mineral mentah itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan aturan turunannya di Permen ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017.
Saat pemerintah mengharuskan perusahaan tambang memiliki smelter untuk melakukan ekspor mineral mentah, banyak investor asing yang tertarik melakukan investasi untuk membangun smelter di Indonesia karena tertutupnya keran ekspor tersebut.
"Tapi kini tidak menjadi keharusan bagi para investor untuk membangun smelter di Indonesia," tutur Nico.
Dengan demikian, manajemen terus melakukan diskusi dengan pemerintah untuk mencari jalan keluar yang menguntungkan bagi dua pihak, baik dari sisi pemerintah maupun perusahaan tambang.
Selain membangun smelter di Bahodopi, perusahaan juga berencana membangun smelter di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Sebelumnya, Nico sempat menyatakan, pihaknya hanya perlu menunggu izin terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), izin kehutanan, dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Rencananya, perusahana akan bekerja sama dengan Sumitomo Metal Mining Co. Ltd untuk memproduksi bijih nikel limonit. Kendati masih ada proses amdal yang perlu diselesaikan, manajemen optimis dapat mengantongi izin pembangunan smelter tersebut pada tahun ini.
Terkait aturan pemerintah yang kembali mengizinkan ekspor mineral mentah tersebut, Vale Indonesia menyayangkan hal itu karena menyebabkan harga bijih nikel mengalami koreksi.
"Ini tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk menciptakan nilai tambah dalam negeri," tegas Niko.
Sebelum aturan ini diterbitkan, lanjut Niko, analis internasional memprediksi harga nikel tahun 2017 berada di kisaran US$11.000-US$12.250 per ton. Namun, analis merevisi prediksi tersebut tepat setelah pemerintah mengubah aturan ekspor bijih nikel.
"Analis internasional merevisi prediksi harga nikel 2017 menjadi US$9.800-US$10.300 per ton," pungkas Niko
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.