Vale Tunda Investasi Smelter di Sulsel karena Harga Nikel Anjlok
PT Vale Indonesia Tbk (INCO) terpaksa menunda realisasi pembentukan perusahaan patungan (joint venture) untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Bahodopi, Sulawesi Selatan. Pembentukan joint venture atau JV yang semula dijadwalkan September tahun ini diundur karena harga nikel masih rendah.
Direktur Utama Vale Indonesia, Nico Kanter, menjelaskan harga nikel yang anjlok hingga di kisaran 9.800 dolar/ton ini karena Peraturan Menteri (Permen) No. 6/2017 yang membuka keran ekspor mineral mentah khususnya untuk nikel kadar rendah 1,7 persen. Padahal sebelumnya pemerintah melarang ekspor mineral mentah melalui Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2014.
Menurut Nico, dengan melarang ekspor mineral mentah, jumlah nikel di pasar global terbatas sehingga harganya naik. Tentu ini menjadi pendorong investasi di smelter. Namun pemerintah kembali mengganti kebijakannya sehingga harga nikel kembali turun dan investor smelter mengkaji ulang proyek-proyeknya.
"Target kami adalah pada bulan September harusnya sudah masuk mitra potensial untuk JV. Namun karena harga nikel turun, mitra potensial kami kembali melakukan feasibility study," kata Nico dalam paparan publik di Gedung BEI, Jakarta, Senin (7/8).
Untuk diketahui, sebelumnya Vale Indonesia memperkirakan nilai investasi untuk smelter Bahodopi mencapai 500 juta dolar AS dengan luas area kontrak karya mencapai 22.699 hektare (ha).
Di tempat yang sama, Direktur Keuangan Vale, Febriany Eddy, mengatakan sebelum aturan tersebut dikeluarkan, para analis internasional memprediksi harga nikel tahun 2017 berada pada kisaran 11.000 sampai 12.250 dolar AS/ton. Namun setelah diterbitkan, para analis nasional merevisi prediksi harga nikel di kisaran 9.800 sampai 10.300 dolar AS/ton.
"Harga nikel saat ini sangat rendah, paling tidak 25 persen produsen nikel di dunia beroperasi dengan arus kas negatif. PT Vale sendiri masih dapat mempertahankan arus kasnya, walaupun membukukan rugi sebesar 23 juta dolar AS pada enam bulan pertama tahun 2017," jelas Febrianty.
Febrianty melanjutkan, sampai saat ini pemerintah telah menerbitkan izin ekspor sebesar 8 juta ton. Walaupun realisasi ekspor saat ini masih rendah, namun pasar telah memperhitungkan jumlah tersebut dalam menghitung suplai bijih nikel dunia.
"Jumlah ini tidak bisa dianggap remeh karena mencerminkan sekitar 4 persen dari suplai nikel dunia. Izin ekspor tersebut diterbitkan dalam kurun waktu kurang lebih 7 bulan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akan lebih banyak lagi volume ekspor bijih nikel yang akan diizinkan sampai dengan 5 tahun ke depan," tuturnya.
Febrianty mengakui dalam beberapa minggu terakhir terjadi perbaikan indikator-indikator makro ekonomi di China yang membantu meningkatnya harga nikel. Kenaikan harga ini sebenarnya bisa lebih tinggi, namun tertekan dengan proyeksi volume bijih ekspor dari Indonesia.
"Kami sangat prihatin mengingat bijih nikel Indonesia yang begitu berharga dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui diperbolehkan untuk diekspor kembali dengan nilai yang rendah. Hal ini tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk menciptakan nilai tambah dalam negeri," katanya.
Ia menambahkan, Indonesia sebenarnya mempunyai posisi yang sangat kuat untuk membuat investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri dalam bentuk pembangunan smelter. Hal ini bisa dilihat bahwa sejak dilarangnya ekspor bijih nikel mentah sampai akhir tahun lalu, telah terjadi paling tidak investasi senilai 6 milliar miliar dolar AS.
"Namun dengan diperbolehkan kembali ekspor bijih nikel akan mengurangi insentif membangun di dalam negeri karena pasokan bijih mentah menjadi tersedia di China. Sehingga tidak lagi menjadi keharusan bagi para investor untuk membangun smelter di Indonesia," paparnya.
"Hal ini juga menyebabkan sulitnya kami mendapatkan potensi mitra untuk berinvestasi di Pomalaa dan Bahodopi. Oleh karenanya, kami akan terus berdialog dengan Pemerintah untuk mendapatkan solusi yang terbaik," tutur Febriany.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.