Bangun Smelter Nikel buat Baterai Bisa Bikin RI Cuan
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan agar pembangunan smelter nikel kelas dua berupa smelter feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI) dibatasi. Salah satu alasannya adalah permasalahan nilai tambah.
Estimasi harga ekspor untuk FeNi diperkirakan akan berada di kisaran US$ 15.500 per ton pada 2025 mendatang, lalu nikel matte kisaran US$ 14.000 per ton, cukup jauh jika dibandingkan dengan nikel sulfat yang harganya diperkirakan bisa mencapai US$ 20.500 per ton.
Dengan asumsi penjualan feronikel pada 2025 mencapai 100 ribu ton dan estimasi harga di atas, maka penjualan diperkirakan mencapai US$ 1,55 miliar dan penerimaan negara sekitar US$ 135,63 juta. Sementara untuk nikel sulfat, dengan perkiraan penjualan sebanyak 100 ribu ton, maka penjualan diperkirakan mencapai US$ 2,05 miliar dan penerimaan negara sebesar US$ 153,75 juta.
Dengan demikian, ada perkiraan tambahan penerimaan negara sebesar US$ 18,12 juta atau sekitar Rp 263 miliar (asumsi kurs Rp 14.500 per US$).
Berdasarkan perkiraan tersebut, maka hilirisasi nikel akan didorong ke pembangunan smelter nikel sulfat yang lebih memiliki nilai tambah lebih tinggi. Pilihan Redaksi
Punya Harta Karun Ini, RI Harusnya Udah Kaya Sejak Lama Sstt.. Pemerintah Bakal Batasi Proyek Smelter Feronikel-NPI Proyek Smelter Nikel Baru RI Bakal Dibatasi, Kenapa?
Untuk diketahui, nikel sulfat bisa dijadikan sebagai bahan baku untuk memproduksi katoda sel baterai. Indonesia pun berencana membangun dan mengembangkan pabrik baterai guna mendukung program kendaraan listrik di masa depan.
Selain masalah nilai tambah, pembatasan smelter nikel kelas dua untuk FeNi dan NPI juga karena untuk menjaga ketahanan cadangan bijih saprolit yang rendah.
Pasalnya, cadangan bijih saprolit lebih sedikit dibandingkan cadangan nikel kadar rendah atau limonit. Nikel saprolit ini memiliki kandungan nikel tinggi yakni 1,5%-2,5%. Biasanya, produksi feronikel dan NPI ini menggunakan bijih nikel kadar tinggi.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sumber daya nikel dengan kadar nikel lebih dari 1,7% atau nikel saprolit mencapai 3,93 miliar ton, lebih rendah dibandingkan sumber daya bijih nikel kadar rendah kurang dari 1,7% mencapai 4,33 miliar ton.
Adapun cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton untuk kadar 1%-2,5%, di mana cadangan bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% sebanyak 1,89 miliar ton dan bijih nikel dengan kadar di atas 1,7% sebesar 1,76 miliar ton.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Mulyanto angkat bicara mengenai usulan pembatasan smelter feronikel dan NPI ini. Dia pun mengaku sepakat dengan usulan ini agar Indonesia semakin bergerak ke industri yang semakin hilir, terlebih bila pembangunan smelter nikel sulfat hingga baterai terus didorong.
"Saya setuju program ini, kita benar-benar bergerak semakin ke hilir," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (22/06/2021).
Demi terus mendorong hilirisasi nikel ini, menurutnya peran aktif dari Kementerian Perindustrian harus terus didorong.
"Untuk itu, peran aktif kementerian perindustrian harus didorong. Kita bersyukur karena hari ini diputuskan dalam paripurna DPR, bahwa Kementerian Perindustrian menjadi mitra komisi VII," ujarnya.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.