Blak-blakan Stafsus Menteri ESDM Soal Nasib Proyek Smelter RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Irwandy Arif mengungkapkan investasi smelter pengolah bahan tambang mentah di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan.
Irwandy menjelaskan, tantangan terbesar dalam mengejar program hilirisasi di dalam negeri adalah sulitnya mencari pendanaan atau finansial. Mengingat, perubahan teknologi dalam pembangunan smelter membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Kita semua harus beli. Belum ada teknologi yang berkembang, proven secara ekonomi di dalam pembangunan yang memakai teknologi smelter. Dalam komoditas apapun, ini tantangan utama kita," kata Irwandy dalam Closing Bell CNBC Indonesia, Senin (13/12/2021).
Kemudian, faktor lainnya adalah pasokan listrik, karena saat ini ada dua hal utama terkait pasokan listrik dalam pembangunan smelter, yakni apakah jaringan listrik bisa sampai kepada smelter dan hal lainnya yakni adanya tekanan terhadap batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Ini (masalah finansial dan listrik) yang menjadi persoalan juga di dalam menghadapi bagaimana mencegah hambatan-hambatan di dalam pembangunan smelter," tuturnya.
Kendala lainnya, kata Irwandy, adalah dari sisi pasokan atau suplai bijih. Pasalnya, jumlah cadangan bijih nikel dengan kadar lebih dari 1,7% mulai terbatas.
Untuk diketahui, pemerintah berencana membatasi pembangunan smelter nikel kelas dua yakni untuk feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI). Salah satu alasan pembatasan ini adalah untuk menjaga ketahanan cadangan bijih nikel.
Pembatasan smelter nikel baru ini dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah, mengamankan bahan baku untuk pabrik katoda sel baterai, serta menjaga ketahanan cadangan bijih nikel.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sumber daya nikel dengan kadar nikel lebih dari 1,7% atau nikel saprolit mencapai 3,93 miliar ton, lebih rendah dibandingkan sumber daya bijih nikel kadar rendah kurang dari 1,7% mencapai 4,33 miliar ton.
Adapun cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton untuk kadar 1%-2,5%, di mana cadangan bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% (nikel limonit) sebanyak 1,89 miliar ton dan bijih nikel dengan kadar di atas 1,7% (nikel saprolit) sebesar 1,76 miliar ton.
Mengacu catatan Irwandy, sampai saat ini baru ada 19 smelter yang sudah beroperasi di Indonesia. Di antaranya adalah 13 smelter nikel, 2 smelter bauksit, 2 tembaga, 1 smelter besi, dan 1 smelter mangan.
Pemerintah menargetkan ada 53 smelter beroperasi pada 2023, bersamaan dengan rencana larangan ekspor mineral mentah pada tahun itu juga.
"Dan tahap pembangunan sampai saat ini ada 34 unit (tambahan smelter baru) dengan komoditas yang sudah disebutkan tadi," ujarnya.
Menurut Irwandy, ketiga hal di atas merupakan hambatan atau kendala yang menjadi perhatian bagi para investor yang ingin membangun smelter.
Di samping itu juga, kata Irwandy, terdapat hal lain yang juga harus diperhatikan oleh para investor dalam membangun smelter, antara lain yakni unsur lingkungan, perubahan teknologi pada pembangunan smelter, serta izin-izin pembangunan dan keterlibatan tenaga kerja asing.
"Ini semua harus berjalan seimbang, dan diharapkan dalam pembangunan smelter bisa diminimumkan," jelas Irwandy.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.