Perbaikan kebijakan pemerintah yang fokus pada peningkatan nilai tambah dan kemudahan bisnis mulai berbuah. Di tengah tekanan luar biasa pandemi dan masih abainya banyak orang terhadap protokol kesehatan, ekonomi kita pun menunjukkan tanda-tanda pemulihan seiring reformasi yang dilakukan. Bahkan, kinerja ekspor tumbuh luar biasa. Kinerja ekspor Indonesia yang menanjak di tengah pandemi global itu ‘bukan kaleng-kaleng’.
Ini menunjukkan ekonomi kita makin kompetitif di gelanggang perdagangan dunia, bukan lagi ayam sayur. Tak heran, rilis data ekspor April 2021 yang menembus US$ 18,48 miliar disambut positif di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan rebound 0,64% ke level 5.797 lebih pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia, kemarin. Ekspor bulan lalu itu tak hanya meningkat 0,69% dibanding Maret 2021, namun juga mencatatkan kinerja bulanan yang tertinggi sejak satu dekade yang lalu.
Jika dibandingkan April 2020 setelah pandemi virus baru Covid-19, lonjakannya mencapai 51,94%. Menariknya, kenaikan ekspor itu justru terjadi di tengah penurunan tajam kontribusi minyak sawit yang selama ini menjadi andalan utama RI. Hal ini berkat lonjakan ekspor signifikan kelompok besi dan baja yang mencapai 17,50%; logam mulia dan perhiasan/permata 39,47%; bijih, kerak, dan abu logam 26,55%; serta timah dan barang dari timah 31,48%.
Demikian pula, ekspor mesin dan perlengkapan elektrik tumbuh 3,21%. Jika kita telusuri, menanjaknya kinerja ekspor itu tak terlepas dari kebijakan pemerintah yang mendukung. Hal ini terkait dengan ketentuan batas waktu izin ekspor bijih mineral atau ore yang hanya boleh sampai Juni 2023.
Setelah itu, pengusaha dilarang menjual komoditas mineral dalam bentuk mentah ke luar negeri. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Beleid itu menyatakan bahwa tiga tahun sejak UU diterbitkan, maka semua mineral dari dalam negeri harus dimurnikan melalui fasilitas pemurnian (smelter) domestik.
Kebijakan pemerintah memang menjadi kunci pertumbuhan dan daya saing usaha di dalam negeri. Lihat saja, pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk mobil, dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tinggi, langsung membalikkan keadaan. Begitu diberlakukan diskon pajak gede-gedean mulai Maret lalu, penjualan mobil yang semula semakin anjlok karena terpukul pandemi, langsung bergairah. Penjualan mobil di Tanah Air pada Maret 2021 menanjak 28,2%. Bahkan, penjualan pada April menjelang Lebaran lalu tumbuh luar biasa, 227% year on year (yoy). Tak pelak, industri terkait seperti multifinance pun langsung menggeliat.
Tak hanya itu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, sepanjang empat bulan pertama tahun ini, ekspor mobil buatan industri di Indonesia menembus 102.740 unit completely build up (CBU).
Jumlah ini terkerek 14,5% dibanding periode sama tahun lalu. Bangkitnya kembali industri otomotif itu tak mengherankan, mengingat utilitasnya langsung terdongkrak. Hal ini tentu saja membuat efisiensi dan daya saing industri di Tanah Air meningkat. Oleh karena itu, terobosan-terobosan untuk memperkuat efisiensi dan daya saing industri di Indonesia harus terus digencarkan.
Selain kita bisa memenuhi sendiri kebutuhan dalam negeri dengan harga kompetitif, langkah itu juga bakal memperkuat penetrasi ekspor kita. Indonesia pun akan tumbuh menjadi basis ekspor yang kuat, tak hanya di regional Asean.
Apalagi, kita punya modal keunggulan aneka kekayaan alam, penduduk usia produktif besar, hingga letak geografis strategis di pusat jalur perdagangan dunia. Dengan demikian, ekonomi kita tidak hanya mengandalkan konsumsi dalam negeri yang hingga kini masih mendominasi. Ekspor kita pun akan melaju sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Dengan terus tumbuhnya ekspor, maka kita pun bisa mengikuti jejak kesuksesan Korsel, Jepang, Jerman, dan Tiongkok, yang sudah dan tengah menuju negara maju. Kekuatan ekspor inilah yang menjadi kunci untuk mewujudkan perhitungan McKinsey bahwa Indonesia bisa menjadi ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada 2030, dari saat ini ke-16. Editor : Esther Nuky (esther@investor.co.id) Sumber : Investor Daily
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Indonesia Basis Ekspor"
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.