Bisnis.com, JAKARTA - Emiten pertambangan logam PT Vale Indonesia Tbk. mengumumkan kinerja produksi pada 2020 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
CEO dan Presiden Direktur Vale Indonesia Nico Kanter menyampaikan perseroan telah memproduksi 72.237 metrik ton nikel dalam matte pada 2020. Volume itu meningkat 2 persen dibandingkan 71.025 ton pada 2019.
"Kami bangga sekaligus berterima kasih kepada karyawan atas pencapaian ini," paparnya dalam keterangan resmi, Rabu (3/2/2021). Baca Juga : Lagi! UE Protes Larangan Ekspor Bijih Nikel RI, Minta WTO Buat Panel
Pada kuartal IV/2020, Vale memproduksi nikel dalam matte sejumlah 16.445 ton. Volume itu turun 16 persen dibandingkan kuartal III/2020 sebesar 19.477 ton, dan turun 20 persen dari kuartal IV/2019 sejumlah 20.494 ton.
Menurut Nico, penurunan produksi nikel pada kuartal terakhir disebabkan oleh aktivitas pemeliharaan yang sudah terencana.
Sebelumnya, Vale Indonesia bakal terus mengejar realisasi pengambilan keputusan investasi final atau final investment decision (FID) untuk proyek pengihiliran di Sulawesi. Baca Juga : Permintaan dari China Melonjak, Harga Nikel Mepet Rekor 5 Tahun
Direktur Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan bahwa pihaknya tengah menyelesaikan proses Front End Loading tahap ketiga (FEL3) dan masih dalam proses mendapatkan perizinan kunci yang dibutuhkan untuk FID.
“Ada kemungkinan FID proyek harus di dorong ke later date, tergantung dari progres pekerjaan itu,” ujar Irmanto kepada Bisnis, Kamis (7/1/2021).
Untuk diketahui, emiten berkode efek INCO itu berencana untuk membangun smelter nikel di Pomalaa, Sulawesi Tengah dan smelter feronikel di Bahodopi, Sulawesi Tenggara. FID kedua proyek itu sebelumnya ditargetkan rampung pada kuartal I/2021. Baca Juga : Ambisi Nikel Jokowi Kian Poles Antam (ANTM) hingga Vale (INCO)
Adapun, proyek Pomala diperkirakan membutuhkan investasi sekitar US$2,5 miliar sedangkan proyek Bahodopi membutuhkan US$1,5 miliar. Namun, Irmanto menjelaskan bahwa nilai proyek tersebut dapat berubah dan dipastikan saat FID.
Selain itu, Irmanto juga menjelaskan bahwa penyesuaian FID kemungkinan akan berdampak pada target penyelesaian setiap proyek. INCO semula menargetka proyek Pomalaa rampung pada 2025, sedangkan proyek Bahodopi rampung pada 2024.
“Semua tergantung dari waktu mulai konstruksinya. Kami akan kaji lagi dampaknya ke waktu penyelesaian proyek,” papar Irmanto.
Di sisi lain, INCO mengalokasikan belanja modal atau capital expenditure sebesar US$135 juta pada 2021, lebih besar daripada target capex 2020 sebesar US$120 juta. Alokasi capex itu akan berasal dari kas internal perseroan.
Irmanto menjelaskan bahwa sebagian besar capex tersebut digunakan untuk proyek rebuild furnace 4, kemudian untuk pengembangan tambang dan juga penggantian alat.
Proyek rebuild furnace 4 itu akan mulai berlangsung pada Mei hingga awal November 2021.
Di sisi lain, dengan berjalannya proyek tersebut pada tahun depan INCO memproyeksi volume produksi perseroan akan berada di tingkat yang lebih rendah daripada 2020 maupun 2019.
“Target produksi 2021 yang jelas akan di bawah 70.00 ton karena furnace 4 akan di rebuild mulai mei sampai awal november,” papar Irmanto.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.