Smelter Nikel Baru Bertebaran, Ini Cara Vale Jaga Daya Saing
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah terus mendorong peningkatan nilai tambah di sektor pertambangan mineral, salah satunya nikel. Tak ayal banyak smelter nikel baru bermunculan.
Melihat kondisi ini, bagaimana PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menjaga daya saing?
Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan, kompetisi head to head memperebutkan pasar untuk proyek smelter yang ada saat ini kemungkinan tidak akan terjadi. Pasalnya, pihaknya telah memiliki kontrak kesepakatan jangka panjang dengan Sumitomo, sehingga produk sudah terkontrak dan tidak perlu mencari pembeli baru lagi.
Namun demikian, dia mengakui, untuk proyek smelter selanjutnya yang akan dibangun perusahaan kemungkinan akan bersaing dengan perusahaan smelter lainnya.
"Secara jangka panjang tentang dua proyek pengembangan hasil olahan dari fasilitas yang kami bangun akan ada direct competition dengan pabrik yang sedang dibangun," paparnya dalam Public Expose Live 2021, Rabu (8/9/2021).
Bernardus menyebut, kebanyakan smelter yang dibangun belakangan ini adalah untuk memproduksi Nickel Pig Iron (NPI) dan Feronikel (FeNi) yang masuk ke dalam kategori nikel kelas dua.
"Sedangkan arah dari pasar sendiri, kalau kita lihat beberapa tahun yang akan datang, akan lebih dominan di class one," ungkapnya.
Adapun nikel kategori kelas pertama seperti nikel sulfat yang bisa dijadikan sebagai komponen baterai. Menurutnya, nantinya pemanfaatan nikel akan lebih spesifik, bukan hanya untuk stainless steel, namun untuk kebutuhan kendaraan listrik dan lainnya.
"Tentu saja keberadaan pabrik-pabrik yang ada di Sulawesi dan Maluku Utara harus dimonitor, hati-hati melihat ke dampak harga nikel ke depan dan pasar dunia di masa yang akan datang," tuturnya.
Perlu diketahui, Vale kini berencana menggarap tiga proyek smelter nikel baru, antara lain smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, smelter feronikel di Bahodopi, Sulawesi Tengah, dan proyek ekspansi smelter yang telah ada di Sorowako, Sulawesi Selatan.
Perusahaan memperkirakan akan berinvestasi hingga US$ 5 miliar atau sekitar Rp 72,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) untuk tiga proyek tersebut.
Smelter Bahodopi direncanakan akan bermitra dengan perusahaan China dan menghasilkan produk feronikel yang akan masuk ke pasar stainless steel. Sementara proyek Pomalaa merupakan smelter HPAL yang akan bermitra dengan perusahaan Jepang yakni Sumitomo Metal Mining Co. Ltd (SMM) dan menghasilkan produk untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
Sedangkan smelter ekspansi di Sorowako untuk menambah kapasitas produksi nickel matte sebesar 10.000 ton per tahun dari saat ini sekitar 73.000 ton per tahun.
Pemerintah pun menargetkan sampai dengan 2024 akan ada 53 fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang atau smelter beroperasi, terdiri dari 4 smelter tembaga, 30 smelter nikel, 11 smelter bauksit, 4 smelter besi, 2 smelter mangan, dan 2 smelter timbal & seng.
Namun hingga 2020 Indonesia baru memiliki 19 smelter yang beroperasi dan pada tahun ini ditargetkan akan bertambah 4 smelter, sehingga totalnya akan naik menjadi 23 smelter.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.