Uni Eropa mengajukan gugatan ke WTO atas kebijakan Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel dan harus diolah di dalam negeri. Mengapa mereka bersikukuh dan bagaimana solusi terbaiknya?
Komisi Uni Eropa (UE), yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan untuk 27 negara UE, telah mengajukan permintaan pertamanya kepada panel di Badan Perdagangan Dunia (WTO) untuk memutuskan atas langkah Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel dan persyaratan pemrosesan dalam negeri atas mineral, khususnya bijih nikel dan bijih besi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari laman WTO, gugatan UE itu terigistrasi dengan nomor DS592. UE meminta konsultasi sengketa dengan Indonesia ke WTO mengenai masalah tersebut pada22 November 2019, dilanjutkan dengan pembicaraan pada 30 Januari 2020. K
onsultasi tersebut gagal menyelesaikan perselisihan sehingga mendo rong UE meminta panel. Langkah yang dimaksud UE adalah kebijakan Indonesia yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas industri sebagai tahap peralihan produksi dan meningkatkan ekspor baja tahan karat.
Indonesia menargetkan peningkatan kapasitas baja tahan karat dari nol pada tahun 2015 menjadi 6 juta metrik ton pada 2020. Sementara kapasitas UE di sektor tersebut telah turun dari 9,5 juta ton menjadi 8,4 juta ton dalam waktu yang sangat singkat. Menurut UE, Indonesia telah melakukan langkah yang melanggar kesepakatan WTO, khu susnya larangan pembatasan ekspor produk ke anggota WTO lainnya.
Indonesia memberikan tanggapan yang komprehensif dan ter libat secara konstruktif dengan UE dalam proses konsultasi dan menggambarkan per mintaan UE sebagai prematur. Indonesia tidak bisa menyetujui permintaan UE tersebut. Indonesia menyatakan siap untuk terlibat lebih jauh dengan UE tentang masalah tersebut.
Dispute Settlement Board (DSB) yang dibentuk untuk menengahi masalah ini di WTO setuju untuk kembali ke masalah jika diminta oleh anggota dan mulai dibahas pada 25 Januari 2021.
Hingga tulisan ini dimuat, sidang panel DSB yang berpusat di Brussel masih belum menghasilkan kesepakatan. Tentang Baja Tahan Karat Baja tahan karat (stainless steel/SS) merupakan paduan logam multifungsi yang kehadirannya sangat vital untuk menopang kehidupan dan industri modern.
Penggunaannya meliputi area yang sangat luas, mulai dari peralatan rumah tangga, industri kimia, metalurgi, otomotif, aeronautika, roket, kedokteran, biomedis, peralatan dengan kondisi ekstrem, dan bidang lain nya. Tidak mengherankan, per mintaan terhadap komoditas ini terus meningkat, dengan laju pertambahan 7,2% per tahun. Dari segi jenis, baja tahan karat dibagi menjadi lima jenis, yakni austenit, ferit, martensit, duplex, dan PH (precipitating hardening).
Unsur utama dari kelima jenis bahan tersebut ada lah besi (Fe) dan krom (Cr). Kecuali untuk jenis ferit, nikel ditambahkan pada semua jenis bahan tersebut. Nikel berfungsi untuk meningkatkan karakteristik baja tahan karat agar lebih kuat, tangguh, mudah dibentuk dan menghadirkan sisi estetika.
Di antara ketiga unsur utama pembentuk baja tahan karat, nikel merupakan logam dengan harga paling mahal. Pada beberapa jenis baja tahan karat untuk keperluan ekstrem, sejumlah kecil logam lain ditambahkan, antara lain molibdenum (Mo), niobium (Nb), titanium (Ti), rutenium (Ru) dan renium (Re).
Pada industri smelter, baja tahan karat dibuat dengan mencampurkan besi bekas (steel scrap), ferokrom (FeCr) dan baja tahan karat bekas (stainless steel scrap). Kecuali untuk jenis ferit, unsur nikel ditambahkan baik sebagai logam nikel murni (Ni), paduan feronikel (FeNi) maupun nikel yang terkandung dalam baja tahan karat bekas.
Sekilas Industri Baja Tahan Karat UE Menurut data Asosiasi Baja Eropa (Eurofer), ada lebih dari 500 smelter baja tahan karat ter sebar di 23 negara UE (dari 27 negara anggota). Negara pro dusen terbesar adalah Jerman, Prancis, Italia, Belanda, Spanyol dan Finlandia. Kedua terbesar adalah Tiongkok, disusul Indonesia sebagai produsen ketiga. Produksi pada 2019 terdiri atas 5.135.000 MT slab dan 1.067.000 MT billet. Sekitar 46% di antaranya diimpor dari luar negara UE.
Industri SS memberikan dampak keekonomian signifikan. Tercatat lebih dari 30.000 pekerja langsung bekerja di sektor ini dengan perputaran uang sekitar US$ 20 miliar per tahun. Akan tetapi, dari segi neraca total, UE pada 2019 mengalami defisit neraca perdagangan sekitar -600 ton. Jumlah ini akan terus bertambah seiring gempuran produk SS dari luar UE, termasuk dari Indonesia.
Walau, sejauh ini negara di UE yang mengimpor SS dari Indonesia hanya Italia. Beroperasinya smelter penghasil SS di Indonesia, dalam hal ini dari Morowali (Slab, HRC, CRC) dan Konawe (long product), di samping mem berikan ancaman terhadap internal pasar di negara UE, menjadi ancaman sangat serius bagi pasar yang selama ini membeli baja tahan karat dari UE.
Terlebih lagi produksi baja tahan karat di Indonesia sangat efisien sehingga bisa menurunkan harga lebih fleksibel untuk memenangi persaingan. Mengapa smelter baja tahan karat di Indonesia bisa lebih efisien? Karena mengoperasikan smelter baja tahan karat secara ter integrasi dengan smelter feronikel yang beroperasi di dekat ope rasi penambangan bijih nikel dan dengan kapasitas sangat besar. Feronikel sebagai produk antara dihasilkan dengan mengolah bijih nikel melalui smelter RKEF (Rotary Kiln–Electric Furnace). Logam feronikel yang masih mencair langsung diolah pada smelter AOD (Argon Oyygen Decarburization) menghasilkan baja tahan karat untuk dibentuk menjadi lembaran (slab), canai panas (hot rolled coil), maupun canai dingin (coled rolled coil). Semua terjadi dalam satu kawasan yang terintegrasi. Sistem operasi seperti ini bisa menghemat biaya sangat signifikan baik dari perpajakan, transportasi, logistik dan terutama biaya energi. Sementara itu, smelter SS di seluruh negara UE beroperasi secara terpisah. Operasi AOD sebagai yang paling utama menggunakan seluruh material bahan baku (feronikel, ferokrom, feromangan, feromolibdenum dan lainnya) pada posisi dingin (sudah membeku).
Sehingga diperlukan energi tambahan un tuk memanaskan seluruh material tersebut hingga temperature operasi AOD sekitar 1500 oC. Dari sisi inilah smelter baja tahan karat di Indonesia sudah menang biaya energi.
Belum lagi biayabiaya lainnya. Seluruh smelter baja tahan karat di UE mengolah beberapa bahan baku berupa barang setengah jadi, bukan dari bijih nikel. Prancis menjadi negara andalan untuk memasok nikel sebagai unsur esensial dalam SS, selain Finlandia. Prancis memiliki beberapa smelter dan refinery yang beroperasi di Doniambo, Kaledonia Baru. Sedangkan Finlandia mengolah konsentrat nikel yang didatangkan dari Norilsk, Rusia. Untuk memenuhi kekurangan pasokan, mereka mengimpor feronikel dari berbagai penghasil feronikel di berbagai penjuru dunia, termasuk dari Indonesia (Antam). Tidak ada satu pun smelter baja tahan karat di UE menjadikan bijih nikel menjadi bahan bakunya. Negara-negara UE tidak menggunakan bijih nikel secara langsung. Bahkan sejak tahun 2017 tidak ada lagi permintaan bijih nikel dari Indonesia. Kecuali sebelum tahun 2017, permintaan bijih nikel masih ada tapi tidak lebih 0,5% dari seluruh volume ekspor bijih nikel Indonesia. Itu pun ke negara Eropa Timur non anggota UE yang mengolah bijih nikel tersebut menjadi feronikel.
Pertanyaannya, mengapa UE tetap bersikukuh mengajukan gugatan di WTO atas kebijakan Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel dan harus diolah di dalam negeri? UE Kalah dalam Kompetensi Jawaban dari pertanyaan di atas tidak lain adalah UE kalah kompetensi, baik dalam membendung ekspansi produk baja tahan karat asal Indonesia maupun penetrasi produk ke beberapa pasar potensial yang selama ini menjadi pelanggan setia mereka.
Per Oktober 2020, UE sudah menerapkan kebijakan anti-dumping, di mana impor baja tahan karat asal Tiongkok dikenai tariff 19%, dari Indonesia 17,3%, dan dari Taiwan 7,5%. Karena me nurut investigasi komisi UE, harga baja tahan karat dari ketiga ne gara tersebut dijual dengan harga di bawah harga pasar yang wajar. Produsen baja tahan karat asal UE yang teradang sekaligus kalah bersaing dengan produk asal Indonesia mengalami kerugian finansial.
Pasar potensial yang selama ini setia dengan produk baja tahan karat asal UE yang berkualitas super, mulai melirik bahkan beralih ke produk asal Indonesia walau dari segi kuali tas belum sepadan dengan produk asal UE. Namun seiring waktu berdasarkan pengalaman, kualitas tersebut biasanya makin di tingkatkan karena desakan permintaan pasar. Harus diakui bahwa kedua produsen baja tahan karat asal Indonesia (di Morowali dan Konawe) adalah investasi perusahaan Tiongkok secara langsung (foreign direct investment). Mereka melakukan konstruksi smelter feronikel dan smelter baja tahan karat dengan biaya sangat murah (kurang dari 50% investasi UE) dan dilakukan dengan sangat cepat. Hal ini pada akhirnya memengaruhi struktur biaya produksi, di mana biaya depresiasi yang merupakan komponen har ga penjualan, jadi sangat ren dah. Akan lain ceritanya jika kedua perusahaan asal Tiongkok tersebut melakukan investasi hanya sebatas mengolah bijih nikel menjadi feronikel (sekadar memenuhi regulasi tentang nilai tambah), lalu produk tersebut dikirim ke Tiongkok untuk diolah menjadi baja tahan karat.
Tampaknya UE tidak akan terlalu bersikukuh untuk menggugat Indonesia ke WTO, walau tetap saja risau dengan produk baja tahan karat Tiongkok yang lebih murah. Untuk menutupi kekalahan dalam persaingan harga, tidak tertutup kemungkinan jika komisi UE akan meningkatkan proteksi atau anti-dumping dengan meningkatkan tarif dari yang saat ini diberlakukan yang terbilang sudah sangat tinggi.
Bukan tidak disadari komisi UE bahwa proteksi yang berlebihan sesungguhnya akan membuat industri baja tahan karat di kawasan UE tidak memiliki daya saing internasional dalam jangka panjang. Namun, bisa jadi upaya mening katkan tariff sebagai bagian dari proteksi atau anti-dumping merupakan jalan pintas yang untuk saat ini dirasa paling baik menurut pandangan komisi UE.
Dengan demikian, sesungguhnya gugatan UE ke WTO atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel dan harus menciptakan nilai tambah di dalam negeri Indonesia itu sama sekali tidak relevan bahkan cenderung mengada-ada. Relevansinya lebih kepada peta persaingan yang sudah tergambar bahwa produk SS dari UE kalah bersaing secara harga dari produk baja tahan karat asal Indonesia. Hal ini akan merembet kepada konstelasi industri baja tahan karat di kawasan UE yang secara finansial akan terpukul. Sikap Indonesia Hal pertama dan paling utama sikap yang harus diambil pemerintah Indonesia adalah tetaplah dengan kebijakan yang telah ada atas pelarangan ekspor bijih nikel.
Hal ini merupakan bagian dari kedaulatan bangsa dalam menjalankan perekonomian sekaligus bagian dari kewibawaan bangsa yang beradab. Adalah hak bangsa Indonesia sendiri untuk mengelola kebijakan atas sumber daya alam yang dimiliki, termasuk bijih nikel, dengan acuan konstitusi negara khususnya pasal 33 UUD 1945 ayat 3.
Hal kedua yang bisa dijadikan opsi adalah mengajak komisi UE untuk berkoordinasi dan berinvestasi di Indonesia. Tidak bisa dimungkiri bahwa manajemen, sistem operasional dan tata laksana pengelolaan korporasi cara UE adalah lebih baik.
Hal yang mereka kalah dari Indonesia atau Tiongkok semata dalam hal harga, baik dari segi investasi maupun operasi. Fakta ini tidak bisa ditutupi. A
jaklah komisi UE secara per suasif dan diplomatis untuk melakukan seperti yang telah dilakukan beberapa perusahaan baja tahan karat asal Tiongkok di Indonesia.
Bukan sebatas pada industri baja tahan karat, jenis industri lain pun bisa dijajaki. Antara lain adalah industri material baterai berbasis nikel, paduan super berbasis nikel (nickel super alloy) dan beberapa industri terkait dengan basis pemberdayaan bijih nikel. Sejauh ini hanya unsur besi (Fe) dan nikel (Ni) yang baru diberdayakan.
Padahal dalam bijih nikel masih ada kandungan unsur lain yang sangat potensial untuk diberdayakan dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain unsur kobalt (Co), skandium (Sc), mangan (Mn), dan magnesium (Mg). Sinergi tersebut akan lebih bisa menghadirkan harmoni ke timbang menghamburkan energi akibat bersitegang dan berselisih atas sesuatu yang tidak perlu diperselisihkan di arena WTO dan kancah global. Sinergi tersebut merupakan jalan tengah yang bisa menguntungkan semua pihak.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.