Ada Celah Aturan Ini, Smelter Bisa Pakai Timah Ilegal
Jakarta -Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian ESDM telah melakukan audit smelter timah sejak November 2015 lalu. Audit ini merupakan keputusan dari rapat antara Kementerian ESDM dengan Kepolisian dan KPK pada November 2015, untuk memberantas penambangan timah ilegal.
Audit dilakukan terhadap 47 smelter timah di provinsi Bangka Belitung (Babel) dan Kepulauan Riau (Kepri). Namun, audit hanya dilakukan berdasarkan data-data yang diperoleh dari para pemilik smelter. Alasannya, Itjen Kementerian ESDM tak bisa leluasa masuk ke industri smelter yang perizinannya berada di Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Dari data-data produksi timah, cadangan, kapasitas produksi smelter, dan sebagainya didapati, ada 47 smelter timah di Babel, tapi hanya 29 smelter yang aktif berproduksi, sisanya tidak beroperasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2015 (Permendag 33/2015), hanya timah dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang Clean and Clear (CnC) yang boleh diolah di smelter. Bila tambang timah tidak CnC, karena misalnya tidak membayar royalti, wilayahnya tumpah tindih dengan IUP lain, maka hasil produksinya tak boleh masuk ke smelter.
Tetapi, ada celah yang membuat timah dari tambang non CnC tetap bisa masuk ke smelter. Umumnya, lahan tambang yang dimiliki pemilik smelter terbatas produksi timahnya. Maka, pemilik smelter harus bekerjasama dengan pemegang IUP lain agar bisa memperoleh pasokan timah yang cukup.
Masalahnya, selama ini kerja sama tersebut tidak menyebutkan berapa pasokan timah yang berasal dari mitra. Akibatnya, bisa saja timah ilegal dari tambang non CnC diklaim sebagai timah dari IUP milik mitra.
"Kalau yang 29 smelter itu dari data yang kami peroleh dia menggunakan IUP CnC semua. Tapi kan bahan baku dia tidak cukup hanya dari IUP-nya sendiri, dia kerja sama dengan beberapa pemegang IUP lain, tapi tidak ada volumenya (pasokan timah) dalam perjanjian kerja samanya. Ini celahnya, siapa pemasok pasir timah ke industri smelternya? Ini yang harus diwaspadai," papar Irjen Kementerian ESDM, Mochtar Husein, dalam jumpa pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (17/5/2016).
Menurut data yang diperolehnya, kata Mochtar, di Babel ada 257 IUP timah yang belum CnC dan 498 IUP timah yang sudah CnC. "Dari 29 smelter yang beroperasi aktif, harusnya pemasoknya ada 498 IUP yang sudah CnC. Tapi yang tidak CnC ini terus terang tidak terkendali," ucapnya.
Selain itu, ada celah lain dalam Permendag 33/2015 yang membuat smelter bisa menghindar dari kewajiban membayar royalti untuk timah batangan. Permendag 33/2015 mengatur, semua smelter batangan yang dipakai untuk memproduksi timah solder di dalam negeri harus dibeli dari Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (BKDI/ICDX).
Aturan ini berlaku juga untuk smelter yang bisa memproduksi timah batangan sekaligus timah solder. Untuk smelter seperti itu, mereka harus menjual timah batangannya terlebih dahulu ke ICDX, lalu membelinya lagi dari ICDX untuk dipakai sebagai bahan baku timah solder, royalti dibayar ketika membeli timah batangan.
Tapi dalam praktiknya, sulit sekali mengontrol smelter agar tidak langsung menggunakan timah batangannya untuk dijadikan timah solder. "Permendag mengatur nggak boleh supaya terkontrol, royalti dibayar ketika dia (smelter) beli timah batangan. Jadi kalau dia pakai langsung itu tidak bayar royalti. Ini ngontrolnya bagaimana? Kalau dia punya dua-duanya, bisa saja langsung bikin sendiri," tukas dia.
Agar pelanggaran tidak terus terjadi, menurut Mochtar, harus ada Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) yang jelas dari tiap smelter. Jumlah produksi per tahun, pasokan bahan baku, semuanya harus jelas. Pemerintah daerah (Pemda) harus mengawasi kegiatan smelter agar sesuai dengan RKAB, tidak menggunakan timah ilegal dan menjual semua timah batangan ke ICDX.
"Pengawasan dari Pemda dalam pelaksanaan harus ditingkatkan. Seluruh pengawasan atas diserahkan kepada gubernur sebagai kepanjangan deri pemerintah pusat. Pengawasan sekarang dibanding sebelum November 2015 sudah ada perbaikan. Memang belum sempurna, tapi paling tidak kami akan terus berkoordinasi untuk meningkatkan pengawasan, terutama di Babel," tutupnya.