Hindari Pembangunan Smelter, Freeport Terapkan Strategi Ulur Kewajiban
JAKARTA - Pengamat energi dari Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai, sikap PT Freeport Indonesia (FI) tidak mau membangun smelter dengan alasan harus ada kepastian perpanjangan izin operasi sampai dengan tahun 2041 adalah bagian strategi mengulur kewajibannya untuk memurnikan semua emas bebas yang diperoleh oleh proses penangkapan 14 unit konsertrator Knelasen terbesar di dunia.
“Penangkapan itu dilakukan menghindari emas bebas yang tidak bisa ditangkap dengan proses flotasi akan lolos bersama tailing,” kata Yusri dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (21/3).
Sedangkan penangkapan emas yang terinklusi pada mineral sufida tembaga diperoleh melalui proses pengapungan ( flotasi ) yang menghasilkan konsentrat yang sejumlah 40% dari keseluruhan konsentrat yang diproduksi PT FI diproses lanjut oleh smelter PT Smelting Gresik.
Pemurnian tembaga dilakukan dengan cara elektoris ,lanjut dia, berhasil memaksimalkan konsentrat menjadi tembaga murni sebanyak 300 .000 ton pertahun dan 2000 ton lumpur anoda pertahun dan unsur unsur mineral ikutan dalam larutan konsentrat yang merupakan produk samping adalah gypsum untuk bahan baku pabrik semen Gresik dan Asam Sulfat sebagai bahan baku PT Pertokimia Gresik.
“Kalaulah diasumsikan saja ada 2% kandungan emas dari lumpur anoda dari hasil proses smelter dari PT Smelting gresik , maka diduga akan menghasilkan emas sebesar 40 ton emas dari 40 % konsentrat dari total konsentrat milik PT FI yang diolah di smelter Gresik. Maka kalau ditambah potensi emas dari 60% konsentrat yang diekspor dan proses pemurniannya di smelter Jepang dan lainnya , dengan ditambah emas bebas yang berhasil ditangkap oleh 14 unit konsetrator Knelson yang beroperasi dilokasi tambang PT FI , maka tak salah publik menduga duga ada potensi emas 100 ton pertahunnya dihasilkan dari lokasi tambang PT FI,” jelasnya.
Padahal deposit bijih tembaga Gresberg terbentuk pada batuan terobosan dengan batuan samping berupa batugamping , sehingga mineral mineral sulfida penyusun cebakan bijih tembaga porfiri Cu -Au Grasbeg terdiri dari bornit ( Cu5FeS4) , kalkosit ( Cu2S) , Kalkopirit ( CuFeS2) , digenit ( Cu2S5), dan pirit ( FeS2) , dan emas umumnya terdapat sebagai inklusi didalam mineral sulfida tembaga.
Sedangkan di beberapa bagian tubuh bijih konsentrasi emas terdapat bersamaan dengan kehadiran mineral pirit , apalagi PT FI saat ini sudah bergerak menambang kelokasi semakin dalam dgn tambang bawah tanah , karena sudah semakin dekat ketubuh batuan terobosannya , maka akan diperoleh kadar kandungan emas , tembaga dan perak lebih tinggi dibandingkan diperoleh dari bijih yang berada lebih jauh dari kontak dengan batuan terobosannya.
Tidak Taat UU Minerba
Yusri menjelaskan, pada 24 Juli 2014 PT FI telah menanda tangani MOU dengan Kementerian ESDM untuk membangun smelter di Gresik dan disepakati juga dengan menempati jaminan kesungguhan 5% dari nilai pembangunan smelter US$ 2,3 miliar , sehingga nilai jaminan US$ 115 juta dan hanya disetorkan US$ 15 juta , dan sisanya tidak disetorkan dgn alasan cashflow perusahaan .
Atas dasar MOU tersebut , kata dia, pemerintah tetap memberikan izin ekspor dengan mengenakan bea keluar dan tarif bea keluar berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI ( Permenkeu ) nmr 153/ PMK.011 / 2014 perubahan ketiga dari Permenkeu nomor 75 / PMK .011/2012 , yang dasar pengenaan tarif bea keluar dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan pembangunan smelter dengan tarif bea keluar yang dikenakan.
Sebab, jika mengacu ke Permenkeu nomor 75 secara tegas dan konsekwen bisa dikenakan tarif 20% saat itu dan sekarang bisa mencapai 60%, maka sejak batas akhir boleh melakukan eksport mineral atau bijih mentah adalah tanggal 9 Januari 2014 sesuai pasal 170 UU Minerba nomor 4 tahun 2009 .
Namun faktanya pemerintah tetap terkesan lemah dengan merubah terus Permenkeu tersebut dan hanya dikenakan tarif hanya 5 % . Faktanya pembangunan smelter tidak pernah ada sampai dengan saat ini , sehingga MOU tersebut harusnya dapat diproses secara hukum , karena telah digunakan untuk merugikan negara dengan melawan UU Minerba nomor 4 tahun 2009.
Dia mengajukan pertanyaan kritis ke Dirjen Minerba atas keputusan meningkatkan rekomendasi izin ekspor volume konsentrat. “Pada Juli 2015 hanya sebesar 775.000 mton untuk jangka waktu 6 bulan akan tetapi pada Januari 2016 telah merekomendasikan menjadi 1, 1 juta mton per 6 bulan , dan pada tanggal 17 Febuari 2017 berdasarkan PP Nomor 1 thn 2017 dan Permen ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017 malah memberikan untuk jangka waktu lebih panjang menjadi 1 tahun , dulunya hanya 6 bulan. Ini yang saya pertanyakan,” katanya. (is)