PHK, Dampak Sosial dan “Kartu Kuning” Bagi Ribuan Karyawan Freeport
JAKARTA – Pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan kontraktor PT Freeport Indonesia dikuatkan berdampak pada sosial masyarakat Papua, khususnya Mimika.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua, Bangun S. Manurung mengatakan pihaknya tengah fokus pada masalah sosial pasca PHK ribuan kontraktor karyawan PT Freeport Indonesia.
“Kan ketika ada ribuan orang enggak dapat pekerjaan. Sekarang ini ada puluhan ribu loh yang artinya masih ngantri kartun kuning dapat kerja di Freeport. Apalagi dengan ada ribuan pegawai kontrak yang diberhentikan, artinya secara ekonomi mereka tidak ada penghasilan dan mereka di Mimika. Kalau tidak punya uang, bisa terjadi persoalan sosial. Orang baik aja kalau tidak punya uang bisa mencuri. Jadi kita khawatirkan dampak sosial,” ujar Bangun di Jakarta, Selasa (21/3).
Sebab itu, kata dia, pihaknya berharap pemerintah sudah memutuskan apapun itu ketika diputuskan harus punya kontigensi plan.
“Kalau kontrak karya (KK) berhenti, pemerintah harus punya rencana agar kehidupan sosial tidak terganggu,” tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika, Septinus Soumilena menyebutkan, pemutusan hubungan kerja (PHK) di lingkungan area penambangan PT Freeport Indonesia keseluruhannya adalah karyawan kontraktor.
“Sebanyak 1.441 karyawan yang telah di PHK adalah karyawan kontraktor. Sementara, Freeport Indonesia sendiri hanya merumahkan atau merelokasi karyawannya (karyawan tetap),” ujar Septinus saat mendampingi Bupati Mimika Eltinus Omaleng usai audiensi dengan pejabat Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (7/3).
Lebih lanjut Septinus menurutkan, mayoritas pekerja kontraktor yang terkena PHK lantaran masa kerja sudah berakhir. Dia mencontohkan, salah satu kontraktor untuk penyediaan makanan bagi karyawan Freeport Indonesia, yaitu PT Pangansari telah mem-PHK 200 karyawannya.
“Misalnya Pangansari (kontraktor), sebagian itu ada 200 karyawan yang PHK karena masa kerjanya sudah habis,” tuturnya.
Seperti diketahui, polemik ini menguat lantaran pemerintah memberikan pilihan pada perusahaan asal Amerika Serikat untuk merubah status tambangnya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menegaskan, apabila Freeport Indonesia menginginkan mendapatkan rekomendasi izin ekspor konsentrat, maka perusahaan bisa merubah status menjadi IUPK dan berkomitmen membangun fasilitas pengolahan dan pemunian di dalam negeri untuk 5 tahun sejak PP No.1/2017 diundangkan.
Apabila perusahaan tidak menginginkan perubahan IUPK, artinya tetap bertahan pada KK, maka perusahaan bisa melakukan ekspor untuk komoditas tambang hasil pemurnian.
“Pemerintah memberikan pilihan pada Freeport Indonesia. Apakah mau IUPK atau tetap bertahan pada KK. Ini sangat fleksibel bagi Freeport,” ujar Bambang.