Produksi Timah Indonesia Merosot, Harga Belum Melejit
JAKARTA--Produksi timah di Indonesia, sebagai eksportir terbesar dunia, diperkirakan merosot ke level terendah dalam 14 tahun terakhir seiring dengan lesunya harga komoditas dan langkah pemerintah membatasi aktivitas pertambangan.
Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak serta merta menaikkan harga, karena fundamental permintaan belum menunjukkan kenaikan.
Pada penutupan perdagangan bursa London Metal Exchange (LME), Rabu (18/5), harga timah terkoreksi 185 poin atau 1,09% menuju US$16.775 per ton. Angka tersebut menunjukkan sepanjang tahun berjalan harga meningkat 16,49%.
Biro Statistik Logam Dunia menyampaikan produksi timah di Indonesia pada tahun ini bisa merosot ke level 60.000 ton. Angka tersebut turun 10,91% dari 2015 sebesar 67.350 ton dan menjadi level terendah sejak 2002 sejumlah 58.794 ton.
Peter Kettle, Research Manager Industry Group ITRI, menuturkan berbagai peraturan baru sejak Agustus 2013 membuat pabrik pengolahan atau smelter kesulitan melakukan produksi. Pemerintah telah melakukan pembatasan output, memperketat pajak, dan mewajibkan timah ekspor diperdagangangkan di bursa lokal sebelum pengiriman.
Dia memprediksi adanya sentimen tersebut membuat produksi timah Negeri Garuda tahun ini jatuh ke kisaran 62.000-63.000 ton. Jumlah itu masih bisa ke posisi lebih rendah dalam 14 tahun terakhir setelah kapasitas produksi mencapai 63.000 ton pada 2013.
Indonesia menaikkan standar pemurnian timah pada Juli 2013. Pada Agustus, pemerintah menetapkan penjualan ekspor untuk dimasukkan terlebih dulu ke dalam Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX).
Masalah lingkungan juga menjadi kendala. Pada Februari, smelter terbesar kedua, PT Refined Bangka Tin menghentikan operasi, sedangkan PT Timah menghentikan menambangan seiring dengan keluhan nelayan lokal.
Wu Xiaofeng, Analyst SMM Information & Technology Co., menyampaikan, pemotongan pasokan timah dari Indonesia tentunya mendukung harga, meskipun tren produksi sudah menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Data Bank Dunia menunjukkan, produksi timah Tanah Air mencapai puncak pada 2005 sejumlah 120.000 ton. Namun, pada 2010 penambangan turun ke 84.000 ton. Sampai 2014, angka ini terus menurun ke posisi 68.400 ton.
"Faktor fundamental pasokan dan permintaan global biasanya diimbangi dengan sedikit pengetatan. Namun, pasar belum melihat pemotongan pasokan utama dari China dan Myanmar, sedangkan permintaan belum naik signifikan. Jadi, sentimen ini dampaknya akan terbatas," ujar Wu seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (19/5/2016).
Paul Horsnell, Head Commodities Research Standard Chartered, dalam publikasi risetnya menyampaikan defisit stok timah di LME membuatnya menjadi logam industri dengan kinerja kuat di 2016, yakni hampir menyentuh 20% sepanjang tahun berjalan. Stok di pasar London tersebut hanya berkisar 4.000 ton yang menjadi level terendah sejak 2008.
Meskipun tingkat konsumsi melemah, faktor pemangkasan pasokan lebih cepat berpengaruh terhadap harga. "Mengingat stok sudah rendah, harga sudah mencerminkan risiko kelangkaan," paparnya.
Dalam periode Januari-Mei 2016, lanjut Paul, ekspor Indonesia juga sudah jatuh 15.000 ton secara tahunan (yoy). Kontraksi tajam dari eksportir timah terbesar di dunia itu akibat penutupan industri peleburan dan penyulingan di Bangka.
Eskpor dari Myanmar anjlok pada Februari dan musim hujan akan membatasi pengiriman ke luar negeri pada kuartal II/2016. Di sisi lain, aktivitas penyulingan di China berpotensi terhambat.
Standard Chartered menyimpulkan, defisit pasokan di LME akan menjadi patokan bagi investor bullish untuk berinvestasi dalam jangka panjang. Dengan proyeksi tidak adanya pertumbuhan produksi secara signifikan, harga timah bisa melewati level US$20.000 per ton pada akhir 2016.