JAKARTA – Pemberian kembali izin ekspor konsentrat oleh PT Freeport Indonesia dinilai tak mempunyai dasar hukum kuat. Langkah tersebut justru dianggap memberikan preseden buruk terkait lemahnya posisi tawar pemerintah terhadap perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, mengatakan dampak kebijakan itu, Freeport tetap tidak mau membangun fasilitas pengelolaan dan pemurnian atau smelter. “Mestinya, dampak itu yang dipertimbangkan sehingga perlu dibatalkan. Karena melabrak Undang-Undang Minerba,” tegasnya kepada Koran Jakarta, Kamis (6/4).
Fahmi melihat adanya keanehan dalam keputusan pemerintah itu. Meskipun pemberian izin ekspor itu diberlakukan pemerintahan sebelumnya, sampai kini belum ada keputusan yang mampu membuat Freeport patuh terhadap regulasi. Dikhawatirkan, ini memengaruhi hasil akhir perundingan.
“Kian lemahnya bargaining (daya tawar) pemerintah, membuat Freeport akan tetap bersikeras dengan tuntutannya,” tegas Fahmy.
Seperti diketahui, Freeport Indonesia mendapatkan Izin Usaha Khusus Pertambangan (IUPK) sementara yang berlaku hingga delapan bulan, mulai 10 Februari–10 Oktober 2017. Keputusan tersebut merupakan perkembangan terbaru dari proses negosiasi antara pemerintah dan Freeport sejak 2 Februari lalu.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Teguh Pamudji, menyampaikan adanya alasan mendasar mengapa pemerintah memberikan IUPK sementara itu. “Untuk jangka pendek, izin itu diberikan terkait kelangsungan usaha Freeport yang berpengaruh ke ekonomi Papua,” ungkapnya.
Dia memaparkan, dengan dikeluarkannya IUPK-sementara tersebut maka Freeport dapat melaksanakan ekspor konsentrat dan membayar bea keluar. Kuota ekspor konsentrat Freeport mencapai 1,1 juta ton. Ekspor akan terus dievaluasi selama enam bulan. Kendati demikian, sambung Teguh, pemerintah tetap menghormati ketentuan yang termuat dalam kontrak karya (KK).
Namun, istilah IUPK sementara justru ditolak Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Iqnatius Jonan. Mantan Menteri Perhubungan itu menegaskan IUPK tidak ada sementara, melainkan izin ekspor sementara yang diberikan ke Freeport Indonesia saat ini.
“Yang menjadi sementara itu selalu izin ekspornya, karena tiap enam bulan kita akan review,” kata Jonan seusai menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, kemarin.
Menteri ESDM mengungkapkan bahwa pada awalnya, Freeport menolak menerima perubahan dari kontrak karya ke IUPK. Namun, setelah berunding selama tiga bulan, Freeport menerimanya.
Tahan Diri
Sementara itu, Peneliti Pertambangan dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bacthiar, menilai pemerintah semestinya menahan diri untuk tidak mengeluarkan keputusan apa pun terkait perusahaan pertambangan. Pasalnya, sejumlah elemen masyarakat tengah mengajukan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) 1/2017 tentang Perubahan Keempat atas PP 23 No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral beserta sejumlah aturan turunannya.
Gugatan itu dilayangkan pada 30 Maret lalu ke Mahkamah Agung (MA). Dasar gugatan yakni inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan aturan, termasuk pemberian izin ekspor. ers/E-10
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.