JAKARTA — Jumlah izin usaha pertambangan atau IUP yang belum membayar jaminan reklamasi dan pascatambang diperkirakan melebihi hasil penghitungan pemerintah dari kegiatan koordinasi dan supervisi sektor pertambangan mineral dan batu bara.
Koordinasi dan supervisi (korsup) sektor mineral dan batu bara telah dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama digelar di 12 provinsi, sedangkan tahap kedua dilakukan di 19 provinsi.
Berdasarkan hasil korsup tersebut, IUP yang belum membayar jaminan reklamasi dan pascatambang mencapai 75%.
Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir mengatakan besaran persentase tersebut tidak mengagetkan. Bahkan, dia menilai kondisi sebenarnya bisa jauh lebih banyak lagi.
"Kalau saya tidak kaget. Ini isu yang sangat besar dan menurut saya sebenarnya bisa lebih tinggi lagi kalau diteliti satu-satu," katanya, akhir pekan lalu.
Menurutnya, masalah tersebut tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat saja. Pasalnya, jumlah IUP bermasalah tersebut mencapai ribuan perizinan.
Dia menilai, harus ada kemauan dari pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam eksekusi di lapangan untuk turun membantu penyelesaian masalah ini.
Dia menawarkan diri untuk membantu apabila pemerintah tidak sanggup. "Kalau pemerintah gak bisa nanggung reklamasinya, kita bisa bergerak ambil alih untuk yang make sense," ujarnya.
Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyatakan, masalah yang dihadapi bukan hanya jaminan reklamasi, tetapi juga masalah tunggakan kewajiban keuangan yang nilainya sangat tinggi. Tercatat tunggakan para pelaku usaha ke negara mencapai Rp25 triliun.
Selain itu, korsup minerba yang juga melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut mendapati 1,37 juta hektare IUP yang masuk dalam kawasan hutan konservasi dan 4,93 juta ha masuk wilayah hutan lindung.
Belum lama ini, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur mencatat setidaknya ada 24 korban jiwa akibat lubang bekas tambang yang ditinggalkan para perusahaan tambang berlisensi IUP dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Perwakilan Jatam Kaltim Merah Johansyah mendesak pemerintah untuk menindak tegas perusahaan-peusahaan tersebut dan mencabut sertifikat clean and clear (CnC), sebuah sertifikat yang menyatakan perusahaan sudah bersih dan tidak bermasalah, bagi IUP yang lalai.
Deputi II Bidang Pengelolaan dan Kajian Program Prioritas Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho menyatakan persoalan peulihan wilayah tambang memang menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Menurutnya, persoalan pertambangan tidak hanya hasil ekonomi saja yang dibicarakan.
Hingga saat ini, Kementerian ESDM mencatat ada 10.331 IUP yang terdaftar. Sebanyak 6.365 IUP telah berstatus CnC, sedangkan 3.966 masih non-CnC. PELAYANAN EKSPOR
Sementara itu, KPK meminta pemerintah tidak mengeluarkan nota pelayanan ekspor (NPE) kepada para pengusaha sektor tambang mineral dan batu bara yang belum berstatus CnC.
Ketua Gerakan Nasional Sumber Daya Alam KPK Dian Patria menuturkan, masih terdapat ribuan IUP yang tak memiliki status CnC sejak dilakukan evaluasi pada Februari. KPK mencatat terdapat 3.966 IUP yang bermasalah di antaranya tak sesuai dengan aturan, tumpang tindih lahan, dan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dian menegaskan otoritas Dirjen Bea dan Cukai dapat melakukan tindakan tegas terhadap para pengusaha sektor itu dengan tidak mengeluarkan NPE.
"Kami meminta Kementerian dan instansi terkait dapat melakukan hal lainnya agar ribuan tambang dapat segera diselesaikan. Dirjen Bea Cukai, misalnya, jangan mengeluarkan NPE bagi IUP bermasalah," katanya kepada Bisnis.
NPE adalah nota yang diterbitkan pejabat pemeriksa dokumen ekspor atau sistem komputer pelayanan atas pemberitahuan ekspor barang dari eksportir. Hal itu bertujuan untuk melindungi pemasukan barang yang akan diekspor ke kawasan pabean atau ke sarana pengangkut.
Menurutnya, cara lainnya adalah segera dilakukannya pencabutan izin oleh Kementerian ESDM terhadap IUP yang bermasalah. Menurutnya, terdapat pelbagai cara untuk melakukan penertiban dalam rangka koordinasi dan supervisi sektor mineral dan batu bara tersebut.
Dengan belum selesainya penertiban izin tersebut, Dian menuturkan, potensi pendapatan negara sekitar Rp25 triliun dari sektor tersebut menjadi tertunda masuk ke kas negara. Di sisi lain, dia juga menegaskan Dirjen Pajak juga dapat melakukan hal serupa untuk mengejar kewajiban pajak oleh perusahaan-perusahaan di sektor tersebut.
"Saya juga sudah menyerahkan masalah ini ke bagian Penindakan KPK, sekarang kemungkinan sudah dipelajari. Namun, tindak lanjutnya, saya tak bertanya lagi. Kami hanya memasok data apa yang diinginkan bagian Penindakan," kata Dian.
Terkait dengan sektor minerba, Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan, potensi pendapatan negara bisa mencapai Rp200 triliun dengan dilakukannya penertiban izin usaha pertambangan. Selain itu, dia meminta pemerintah untuk turun ke lapangan, dan tak hanya menetapkan target semata dalam persoalan penertiban IUP tersebut. "Lebih dari Rp200 triliun, kalau statusnya CnC dan juga dilihat NPWP ," katanya.
Dia menegaskan Kementerian ESDM didampingi oleh KPK dapat mengetahui mana saja IUP yang dapat dicabut atau diberikan status CnC. Walaupun target tak selesai pada Mei ini, Agus menegaskan, batasan waktu itu dapat diperpanjang.
PT PLN (Persero) siap memasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan.
PT PLN (Persero) berkomitmen akan menyuplai listrik sebesar 75 megawatt (MW) ke pabrik pengolahan dan pemurnian feronikel atau smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT PLN (Persero) akan menjadi pemasok listrik untuk mendukung operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berada di Halmahera Timur, Maluku Utara.